BANYUMAS – Nilai-nilai kesederhanaan dan toleransi seharusnya menjadi ajaran dasar yang perlu di tanamkan ke dalam diri seorang santri di lingkungan pesantren.
Penilaian itu di sampaikan Ahmad Tohari, budayawan dan sastrawan yang juga mewakili Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama Al Falah Tinggarjaya Jatilawang saat di minta pendapatnya dalam momen Hari Santri Nasional.
Menurutnya, kesederhana dan toleransi menjadi ajaran dasar kehidupan santri dan pesantren.
”Hiduplah secara sederhana. Pesantren mengutamakan kesederhanaan. Pesantren itu dalam hukum peribadatan mengutamakan ajaran toleransi secara internal. Jadi yang saya pegang, orientasi pada masyarakat ke bawah,” ungkapnya.
Baca Juga : Kenakan Sarung, Bupati Ajak Santri Bela Tanah Air
Dia menuturkan, nilai keagamaan dan nilai religisitas ini bukan hanya semata-mata sebuah simbol, seperti melakukan puasa, sholat, zakat dan membaca syahadat.
Namun, makna dan kekuatannya lebih dari pada itu. Nilai keagamaan yang sudah jauh dan lebih dalam mendasari pada akhlakul karimah dan Rahmatul lil Alamin.
Pesantren dalam Kehidupan Nasional
Dia menambahkan, pesantren memiliki peran yang penting dalam kehidupan nasionalisme. Melihat tokoh-tokoh nasional yang lahir dari pesantren, seperti Wakil Presiden Republik Indonesia KH Ma’ruf Amin.
Kemudian KH Wahid Hasyim, serta tokoh-tokoh nasional lainnya. Ini menunjukan eksistensi mereka tidak hanya berkutat pada persoalan peribadatan dan keagamaan.
Namun, pesantren tetap menumbuhkan dan mendidik mereka untuk memiliki wawasan kebangsaan yang mendalam.
”Organisasi keagamaan harus memiliki wawasan kebangsaan yang mendalam. Pesantren mendidik mereka untuk memiliki jiwa tanah air,” ujarnya menegaskan.
Baca Juga : Merayakan Hari Santri dengan Pemutaran Film
Ia memberikan pandangannya, peran pesantren selayaknya seperti kewirausahaan, mandiri dan independen. Serta berorientasi pada pandangan ke belakang maupun ke depan. Tetapi, tetap mengacu pada pendidikan umum yang memiliki wawasan ke depan.
Tema Hari Santri
Adapun tema Hari Santri tahun ini berupa “Siaga Jiwa dan Raga”, nilai dia, ini memberikan makna yang mendalam.
Ahmad Tohari memaknai hal tersebut sebagai bentuk harapan bahwa santri menjadi masa depan kemajuan Indonesia dan menjadi bagian terdepan dalam keagamaan dan nasionalisme.
”Artinya mereka harus siaga secara jiwa dan raga, mental maupun fisik. Sekarang mereka yang menjadi masa depan dalam kemajuan Indonesia dan dalam bidang keagamaan,” tuturnya.
Menurutnya, peringatan Hari Santri Nasional hendaknya tidak sekadar menyambut perayaannya. Tetapi melihat hal ini sebagai gejala kebudayaan baru.
Baca Juga : Hari Santri Harus Jadi Momen Santri Bergerak Tangani Covid-19
”Kalau tidak pernah di rayakan, ini tidak menjadi gejala budaya baru. Adanya Hari Sanri menjadi gejala kebudayaan baru,” tuturnya
Ia menganalogikan, gejala ini seperti halnya muncul penulis baru. Munculnya penulis-penulis baru menimbulkan gejala kebudayaan baru yang positif.(mg01-7)