PURWOKERTO – Akademisi Universitas Jenderal Seodirman (Unsoed) Purwokerto melontarkan pandangan, Pancasila sampai saat ini sering kali menjadi alat justifikasi dan alat ‘gebuk’ untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu.
Selain itu, Pancasila sebagai sebuah ideologi atau bukan, sampai saat ini masih menjadi pertayaan besar, khususnya di kalangan kampus (akademisi).
Pandangan tersebut di sampaikan Dr Luthfi Makhasin, dosen politik dari Unsoed, saat menjadi salah satu pelontar gagasan dalam acara Sarasehan Hari Lahir Pancasila, di Pendapa rumah mantan Ketua DPRD Banyumas Suherman, Rabu malam (8/6/2022).
“Selama berpuluh-puluh tahun, diskursus soal Pancasila itu banyak mengalami distorsi. Di antaranya saat zaman Orde Baru. Bahkan sejarah politik kita, Pancasila sering kali sebagai alat ‘gebuk’ atau justifikasi.
Misalnya slogan Pancasila harga mati. Di satu sisi, ini untuk menunjukkan komitmen yang tidak tergoyahkan. Tapi disisi lain, ini membawa pesan menafikan ruang-ruang untuk bernegosiasi atau tafsir yang selalu terbuka,” kata Wakil Dekan I FISIP Unsoed ini.
Baca Juga : rempoah-terbaik-di-banyumas-dalam-proklim
Namun dalam kontek tertentu, nilai dia, Pancasila sebagai nilai-nilai luhur merupakan gading principal yang final. Dari awal Pancasila sebenarnya tidak di desain sebagai ideologi yang tertutup atau Pancasila itu merupakan tafsir yang terbuka.
Sehingga, nilai dia, ini membuka untuk di tafsirkan ulang untuk di negoisasikan dengan kontek masyarakat Indonesia yang terus berubah, yang prural dan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda.
“Problem kita hari ini, ngomong soal Pancasila memang semua prinsip yang terkandung di dalamnya menghadapi tantangan kekinian. Ngomong sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, kita ngomong soal ancaman intoleransi, radikalisme. Ini problem kongkrit yang dari dulu selalu ada sampai sekarang.” nilai dia.
Ia tidak sependapat Pancasila di maknai harga mati. Namun penting untuk kembali menerapkan Pancasila sebagai tafsir yang terbuka, dan tidak boleh menjadi ideologi untuk ‘menggebuk’ orang (tertutup).
“Final itu berbeda dengan harga mati. Final itu artinya selalu membuka ruang untuk di tafsirkan sesuai kontek,” tandasnya.
Sarasehan mengangkat tema mendengarkan Pancasila dari zona orang muda. Pelontar gagasan yang lain, yakni Dr Barid Hardiyanto, dosen Amikom dan UIN Saizu, dan Bangkit Ari Sasongko (Direktur LPPLSH Purwokerto).
Pemantik wacana dan pengarah diskusi, Jarot Setyoko (Paguyuban Pecinta Ebeg dan Lengger atau Paceleng), dan kegiatan di fasilitasi oleh Paseduluran Peduli Budaya Banyumas.
Barid menyampaikan, sebagai seorang kiri, dalam menafasirkan sesuatu, termasuk Pancasila, sangat liberal. Namun di tengah keliberalannya, ia mengaku, sudah memiliki basis Islam-nya sudah tertanam dari kecil.
Pancasilais
Menurut Barid, dalam mentafsirkan masing-masing lima sila Pancasila, sepanjang masih ada upaya menafikan dan tidak menghargai maupun bersikap intoleran, berarti belum patut di anggap Pancasilais.
Sila pertama, misal tidak menghargai adanya agama-agama atau kepercayaan yang kecil. Termasuk agam Yahudi, menurutnya agama besar, namun di Indonesia tidak pengadukan terhadap Yahudi.
Begitu pula, untuk sila kedua, dia mencontohkan dalam kontek kemanusiaan, masih ada yang tidak menghargai kelompok LGBT, menurut dia, berarti di anggap tidak Pancasilais.
“Terkait sila ketiga, kalau sampai sekarang masih ada yang mempersoalkan orang pribumi dan non pribumi, maka kita pertanyakan Pancasila kita,” ujarnya.
Dalam kontek kerakyatan atau sila keempat, Barid mempertayakan musyawarah itu seperti apa. Menurutnya, ada yang mempermasalahkan soal voting, di nilai tidak berkerayatan-bermusyawarah.
“Saat kita bicara MotoGP Mandalika sukses, Formula E sukses, dan bicara pembangunan Menara Pandang Purwokerto sukses, tapi saat persoalan rakyat masih banyak yang belum terselesaikan, termasuk pelayanan publik kurang bagus, apakah kita layak bicara keadilan soal (sila kelima),” katanya.
Baca Juga : tmmd-warga-krajan-dapat-sosialisasi-wawasan-kebangsaan
Sementara dalam pemikiran Bangkit, anak muda zaman sekarang cenderung pragmatis. Sehingga dalam menvisualisasikan Pancasila pun sering miskin referensi, terutama yang mudah di praktikkan.
“Lebih pragmatisnya anak muda zaman sekarang, ini wujud dari praktik Pancasila yang di pertontonkan ke anak muda lebih banyak jargon-jargon saja atau emeng-emeng. Praktiknya, beda dikit soal agama saling bunuh atau saling ‘gebuk’.
“Problem ini belum selesai. Dan anak muda lihat, berarti praktik Pancasila yang benar ya begitu,” katanya mengilustrasikan. (aw-7)