Semarang, Suarabanyumas.com – Proyeksi pemerintah pusat yang ingin menjadikan wilayah Jawa Tengah menjadi salah satu lumbung ketahanan pangan nasional tampaknya perlu ditinjau ulang.
Mengingat kondisi ketahanan pangan Jateng dalam beberapa tahun terakhir terus menurun, baik dari sisi produksi maupun luas lahan pertanian.
Kondisi tersebut dianggap cukup serius, misalnya dalam lima tahun terakhir luas lahan untuk pertanian di Jateng berkurang sekitar 62.000 hektar
Hal ini disampaikan Anggota DPD RI Dapil Jateng Abdul Dr. Abdul Kholik saat kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah 2024 dan Proyeksi Tahun 2025 di Kantor DPD RI Provinsi Jateng, Jalan Imam Bonjol No 185 Semarang.
“Itu artinya ekuivalen (sebanding) dengan produksi gabah kalau lima tahun kurang lebih hampir satu juta. Ini menunjukkan status lumbung pangan Jateng sebenarnya sangat rapuh,” kata Abdul Kholik, Rabu (13/11/2024).
Menurut Kholik, kondisi ini perlu menjadi kesadaran semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Kholik berpandangan bahwa pemerintah pusat perlu meninjau ulang kebijakan terkait menjadikan Jateng sebagai salah satu lumbung pangan, karena faktanya produksi dan ketersediaan lahan terus menurun.
“Tetapi kalau mau konsisten, pemerintah pusat harus memberikan dukungan secara penuh kepada kami agar mampu menjadi lumbung pangan,” ujarnya.
Sebaliknya, kata Kholik, kalau pemerintah pusat tidak mendukung secara penuh lebih baik jangan dijadikan sebagai salah satu lumbung pangan nasional.
Pihaknya meminta agar pemerintah pusat serius kalau ingin menjadikan Jateng sebagai lumbung pangan, karena tanggung jawab moral ada di wilayah Jateng.
“Selama ini faktanya pemerintah pusat hanya memberikan label, tapi tidak bertanggung jawab kepada Jateng sebagai lumbung pangan,” terangnya.
Abdul Kholik menginginkan jika Jateng dijadikan sebagai salah satu lumbung pangan nasional, maka harus diberikan alokasi pendanaan khusus untuk mendukung sektor pertanian di Jateng.
Selain itu, kesejahteraan para petani harus diperhatikan, diperkuat dengan pemihakan dan perlindungan pertanian, misalnya dari pupuk dan benih semuanya harus dijamin.
“Kami juga meminta jaminan kalau Jateng memang diandalkan sebagai lumbung pangan nasional, maka seluruh kebutuhan infrastruktur pertaniannya dipenuhi. Ini yang harus ditegaskan,” ujarnya.
Ia berharap presiden terpilih Prabowo Subianto memberikan perhatian lebih kepada wilayah Jateng yang kondisinya cukup kritis, bahkan kalau dibiarkan bisa menjadi darurat untuk ke depannya.
Abdul Kholik juga menyinggung soal Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat di Jateng agar menghindari penggunaan lahan subur untuk pertanian.
Kalau tidak bisa menghindari, maka teknologinya harus dimaksimalkan,” ujarnya.
Ia menambahkan data yang yang disampaikan salah satu peserta diskusi terkait dengan jalan tol yang menghabiskan kurang lebih 500 hektar lahan sawah subur di Jateng.
Menurut Kholik, di satu sisi pemerintah ingin menjadikan Jateng sebagai salah satu lumbung pangan nasional, tapi di sisi lain kebijakannya tidak sinkron dengan semangat tersebut
“Jadi PSN harus dipastikan lahan sawahnya harus dilindungi. Tahun 2045 penduduk Jateng diperkirakan 42 juta jiwa, kebutuhan pangannya akan terus meningkat , sementara realitanya produksi pangan dan luas lahan terus menurun,” imbuhnya.
Alih Fungsi Lahan
Sekretaris Distabun Jateng, Himawan Wahyu Pamungkas menyampaikan konsumsi beras untuk Jateng tahun 2024 sekitar 1,1 juta ton.
Oleh karena itu perlu adanya peningkatan produksi beras untuk menuju ketahanan pangan.
Dia menyebut penyebab kekurangan target dari surplus beras di Jawa Tengah karena adanya beberapa faktor.
Pertama karena alih fungsi lahan. Tahun 2024, misalnya terjadi pengurangan lahan seluas 62,192 Ha di Jateng.
“Dari luas baku sawah 1.049.661 Ha (data 2019) menjadi 987.648 Ha (data tahun 2024),” katanya.
Kedua, perubahan iklim, perubahan suhu dan pola cuaca berpengaruh kualitas air dan kuantitas nya menurun, dan ketiga adanya gejolak harga pangan.
Upaya pencegahan dan mengatasi kekurangan target surplus beras yaitu dengan intervensi pemberian bantuan pupuk organik dan peningkatan provitas, rehabilitasi lahan dan peningkatan luas baku sawah.
Himawan juga menyampaikan terkait alih fungsi lahan persawahan di wilayah Jawa Tengah yang semakin masif.
Dalam lima tahun terakhir ini lahan sawah seluas 62 ribu hektare di Jawa Tengah hilang dan berubah menjadi perumahan, kawasan industri hingga objek wisata.
Menurutnya, data tersebut dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ATR/BPN yang menyebutkan, pada 2019 sampai 2024, luas lahan persawahan di Jateng berkurang hingga 62.193 hektare.
“Terjadi pengurangan luas baku sawah dari 1.049.661 hektare tahun 2019 menjadi 987.648 hektare tahun 2024 (terjadi pengurangan seluas 62.193 hektare),” ujarnya.
Dia menjelaskan jika alih fungsi lahan tertinggi ada di Kabupaten Grobogan. Diketahui, dalam lima tahun terakhir, lahan sawah seluas 8.387 hektare di Grobogan telah beralih fungsi.
Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, luas lahan persawahan di Grobogan pada 2019 mencapai 90.776 hektare.
Namun pada 2024, sawah tersebut beralih fungsi hingga akhirnya menjadi 82.389 hektare.
“Alih fungsi lahan pertanian merupakan perubahan lahan dari pertanian menjadi fungsi lain, seperti perumahan, kawasan wisata, atau lainnya. Ini bisa berdampak pada lingkungan dan potensi lahan itu sendiri,” imbuhnya.
Sementara Wakil Kepala Bulog Kanwil Jateng, Fadillah Rachmawati, menyatakan menjaga ketahanan pangan dengan tiga pilar ketahanan pangan, yaitu ketersedian, keterjangkauan dan stabilitas.
Diketahui, untuk stok beras di Jawa Tengah hingga akhir tahun 2024 sejumlah 267.985 ton, cukup aman hingga sebelum panen padi tahun 2025.*