MENGGELUTI kembali dunia literasi, tak ubahnya terbangun dari tidur panjang yang cukup lama. Hal itu dikemukakan oleh Agus Siswanto, yang baru saja menerbitkan antologi buku cerpen ketiganya berjudul “Karyono dan Ibu Negara”.
Wakil Kepala SMA 5 Magelang ini berkisah, pada 2010an dia sudah terjun di bidang ini. Bahkan beberapa tulisannya sempat tampil di beberapa media massa.
Namun entah mengapa gairah menulis di dunia baru ini menghilang begitu saja tanpa tahu sebabnya. Pada 2017 semangat itu muncul lagi dan bergabung dengan blog komunitas menulis untuk para guru.
(Baca Juga : Puisi-Puisi Bagus Likurnianto)
Ternyata blog kepenulisan ini menjadi ladang persemaian bagi tulisan-tulisannya. Secara perlahan tapi pasti, skill menulis mulai timbul lagi. Beberapa karya meski tidak bagus-bagus amat mulai bermunculan dan menambah kepercayaan dirinya.
Pada awal 2020, pandemi melanda, ternyata justru menjadi berkah bagi guru Sejarah ini. Banyaknya kegiatan di rumah, memberikan ruang untuk lebih banyak untuk menulis. Suatu saat secara iseng ia mengajak beberapa guru untuk membuat antologi.
Berkarya
“Hasilnya luar biasa, saat itu terkumpul 26 orang guru dari penjuru Nusantara sehingga lahirlah antologi ‘Pandemi Virus Pentigraf’ pada Juli 2020,” kisah pria kelahiran 27 Agustus 1966 ini.
Antologi ini ternyata menjadi pintu masuk bagi lahirnya karya-karya lain. Berkarya dengan hampir seratus orang guru dari seluruh penjuru negeri, mereka membentuk komunitas Taman Aksara. Kerennya, menggandeng Satria Indra Prasta (SIP) Publishing, komunitas berhasil menelurkan 15 antologi selama pandemi ini.
Sebuah pencapaian yang luar biasa. Di luar antologi bersama, Agus juga sudah menerbitkan tiga buku antologi tunggal, yaitu “Super Karyono”, “Kepingan Kisah dari Timor-Timur” dan “Karyono dan Ibu Negara”.
(Baca Juga : Puisi-Puisi Ikrom Rifa’i)
Nah, di buku ketiga yang diterbitkan SIP Publishing ini, berisikan sketsa kisah-kisah kehidupan dengan penokohan Karyono seorang ASN yang kreatif sekaligus usil. Juga berkisah tentang seorang ibu rumah tangga dengan segala hiruk-pikuk persoalan dapur.
Kegiatannya di bidang literasi saat ini tetap berjalan meskipun masih dalam kategori yunior. Beberapa blog kepenulisan besar pun dia ikuti. Tujuan utama keterlibatan ini adalah untuk mempertajam naluri menulisnya sekaligus sebagai portofolio.
Dalam benaknya, usia bukanlah halangan untuk menulis. Umur 55 tahun justru angka produktif untuk melahirkan karya. (Ryan Rachman)