“Di sini sedikit yang membaca, tetapi lebih sedikit lagi yang menulis. Makanya, urutan tingkat literasi Indonesia berada di angka 60. Sementara Malaysia bahkan sudah di tingkat 18. Jauh meninggalkan kita,” jelas Ahmad Tohari, budayawan dan sastrawan saat Temu Sastra bersama 25 Kepala SMA se Kabupaten Pemalang di Taman Sastra Ahmad Tohari, kompleks Agro Karang Penginyongan, Cilongok, Senin (30/12) siang.
Terkait hal itulah, pengarang yang moncer namanya berkat trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk mengajak para guru untuk bisa mendorong lahirnya para penulis-penulis dari anak-anak didiknya. Tohari pun mengkritik kurikulum di jenjang sekolah dasar hingga menengah atas yang sangat minim mengajarkan sastra.
“Waktu kita habis belajar tata bahasa, awalan sisipan, majas dan lainya itu tidak penting. Lebih penting adalah mengoleksi karya sastra. Untuk tata bahasa itu cocok dipelajari jurusan bahasa perguruan tinggi dan untuk orang yang ingin jadi pengamat sastra,” jelasnya menanggapi pertanyaan dan keluhan guru yang hadir tentang keringnya pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.
Sementara kata pengarang sejumlah novel ini menekankan pentingnya sastra yang bisa mengasah kepekaan dan kemanusiaan. Sekarang sangat sedikit sekolah yang mengoleksi karya sastra dan lebih banyak terjebak pelajaran tata bahasa.
“Padahal untuk belajar tata bahasa bisa diambilkan contoh langsung dari karya sastra yang ada. Hal ini sebelumnya sudah saya sampaikan saat pertemuan para sastrawan bersama presiden di Istana Negara Jakarta beberapa waktu lalu. Entah tindak lanjutnya,” katanya.
Rendahnya literasi bangsa Indonesia ini juga disebut-sebut salah satu variabel penyebab ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya. Terkait hal itulah ia mendorong anak-anak muda dan juga guru tidak hanya membaca tetapi juga menulis. “Bangsa Indonesia menunggu ribuan penulis. Bapak Ibu gurulah yang bisa menciptakan mereka,” ujar suami dari Syamsiyah ini.
Prospek Cerah Menulis
Prospek ekonomi menulis menurut Kang Tohari terbukti cukup cerah. Banyak penulis-penulis muda seperti nama Tere Liye, Habiburrahman El Shirazy kaya raya karena menulis. Untuk itulah ia memotivasi kepada anak-anak muda dan para guru untuk terus menulis.
Tentunya kata Tohari, bekal menulis ini adalah membaca. Waktu SMA, ia membaca Don Quixote, John Steinbeck, hingga baca novel sangat cengeng bahasa Jawa ‘Anteping Katresnan’ karya Any Asmara hingga. Ia juga baca buku stensilanFredy S hingga novel tentang percintaan budak negro yang dianggap buku porno waktu itu.
“Tulisan itu netral, yang menjadikan porno atau tidak itu adalah pikiran kita. Ambil contoh di buku kedokteran seluruh organ tubuh di bahas bahkan termasuk kitab fiqih tentang bersesuci,” katanya.
Tips Ahmad Tohari, bagi para calon penulis untuk terus membaca dan menulis apapun. Tulislah apapun yang berguna dan positif bagi hidup serta kemanusiaan. Seorang penulispun harus siap menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.
“Sewaktu saya menulis (Ronggeng Dukuh Paruk) saya sempat dipanggil ketentaraan dan ditahan lima hari di sana. Waktu itu saya berpikir apakah saya akan pulang, tetapi Alhamdulillah saya pulang,” jelasnya.
Ahmad Tohari mendorong para penulis untuk terus menulis dan meningkatkan kualitas karya. “Penulis sejati tidak akan pernah puas dengan karyanya. Jika seseorang sudah puas dengan karyanya, maka selamat tidur. Berhentilah kreativitasnya,” jelasnya mengakhiri diskusi itu. (Susanto-)