PURWOKERTO – Target pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah sebesar 7 persen di 2023 dinilai dapat terealiasi. Apalagi, tren pertumbuhan ekonomi nasional akhir-akhir ini semakin baik, bahkan naik.
Namun demikian untuk mencapai target tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah Jawa Tengah.
Pertama, mendorong aksesibilitas kawasan yang jauh dari pusat pertumbuhan. Misalkan, bagaimana memunculkan ide kawasan pertumbuhan baru di kawasan daerah selatan, sehingga konsentrasi dari pemerintah Jawa Tengah menjadi lebih merata.
“Bukan hanya kawasan utara, tapi selatan,” kata pengamat ekonomi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dr. Abdul Aziz Ahmadi.
Dia mengatakan itu saat dimintai pendapatnya terkait dengan target pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah di 2023, pekan lalu.
Kedua, bahwa investasi sebagai penggerak pertumbuhan harus diprioritaskan lebih pada pertimbangan kapasitas ekonomi lokal dan bersifat jangka panjang. Sebab, terkadang daerah itu beranggapan yang penting investasi banyak tapi tidak melihat jangka panjang.
Sehingga ketika upah minimum regional (UMR) di daerah tertentu dinaikkan, investor akan pergi dan mencari UMR ke daerah lain yang lebih murah. “Jadi kira-kira investasi yang memang prospek bukan hanya jangka pendek, tapi juga jangka panjang. Itu yang harus dikejar,” katanya menjelaskan.
Ketiga, memastikan investasi itu tidak terkendala berbagai macam halangan yang dapat menyebabkan investasi menjadi gagal. Beberapa hal yang sering atau terkadang teridentifikasi karena persaingan tidak sehat dalam bisnis.
Contohnya, seorang pengusaha mau membuat usaha, kemudian mendekati birokrasi dengan memberikan kompensasi tertentu. Pengusaha itu diberikan kemudahan. Dan itu sering terjadi. Hal ini merupakan bentuk nepotisme.
“Makanya bentuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) menjadi kendala dalam perekonomian. Jadi KKN itu benar-benar menjadi penghalang pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa dipungkiri,” kata Aziz menjelaskan.
Di samping itu, perlu adanya jaminan keamanan berwirausaha bagi pengusaha yang hendak menanamkan modalnya di Jawa Tengah dan kemudahan pelayanan.
Lebih lanjut Aziz mengemukakan, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan industrialisasi secara fair dengan mempertimbangkan potensi inklusi di masing-masing daerah.
“Kami pernah mengkaji bahwa di Jawa Tengah pernah mengalami industrialisasi. Jadi, pola industri itu memang nilainya meningkat tapi semakin kalah bersaing dengan sektor tersier. Ini muncul sejak 2011,” katanya.
Dikatakannya, era revolusi industri 4.0 juga benar-benar sudah mulai mengancam industri manufaktur karena pergerakan sektor informasi yang sangat cepat. Perbankan kontribusinya semakin tinggi dan perdagangan semakin kencang.
“Jadi kalau kita timbang nilai proporsi industri manufaktur semakin menyusut. Meskipun makin besar tapi kalau dibandingkan dengan nilai dari sektor tersier semakin tertinggal. Konsep industrialisasi menjadi kewaspadaan di semua negara. Negara maju pun khawatir, karena terlalu kencang pergerakan sektor perdagangan,” ujarnya menjelaskan.
Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah perlu membuat kesepakatan dalam aturan kelembagaan, bahwa sektor usaha investasi yang datang benar-benar memanfaatkan potensi lokal. Baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, serta mendorong pemanfaatan riset dan inovasi yang telah dilakukan berbagai pihak.
Ia mencontohkan, selama ini perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset telah mengadakan penelitian. Namun, hasil penelitian kebanyakan hanya sekedar menjadi wacana karena tidak direalisasikan tapi berhenti di laboratorium.
“Unsoed bekerja sama dengan Bank Indonesia dengan memunculkan padi varietas unggul, tapi hanya di praktikkan di uji lapangan dan uji laboratorium oleh sekelompok petani. Habis itu tidak jalan karena petani takut yang beli siapa, jualnya ke mana, nanti kalau produk gagal bagaimana. Itu yang menghambat sektor pertanian,” katanya. (H60-37)