SEPERTI halnya kabupaten lain di Jawa Tengah, Cilacap dikenal sebagai penghasil gula merah. Karena hampir di penjuru kotanya, cukup banyak warga yang aktif menjadi produsen olahan nira itu, baik kelapa maupun aren.
Namun lebih dari itu, di kabupaten Bercahaya itu ternyata juga punya perajin yang membuat wajan, atau tempat pengolahan gula Jawa. Hasil produksi rumahan itu pun telah digandrungi oleh banyak penyadap nira, dari Cilacap, Jawa hingga ke Sulawesi.
Adalah Iim Masruan, warga Dusun Jenggalan, RT1 RW1 Desa Sidamulya, Kecamatan Sidareja. Pria 63 tahun itu sudah hampir setengah abad, menekuni profesi sebagai produsen wajan dan alat dapur lainnya. Pekerjaan itu dikenal sebagai tukang sayang.
Sebanding dengan lamanya usaha, minat konsumen akan wajan produksinya juga telah meluas. “Yang pesan wajan, ataupun alat dapur ke sini kebanyak dari daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan ada juga yang dari Makasar (Sulawesi),” kata Iim Masruan, kala ditemui SuaraBanyumas di rumah produksinya, Kamis (12/3).
Di Jawa Tengah, peminat wajan gula merah buatannya banyak dipesan dari daerah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen. Pemesan juga datang dari daerah Pemalang, Kudus, dan sekitarnya.
“Pemesan yang datang langsung ke sini dan membawa sendiri kalau sudah jadi. Tapi kalau masih di daerah Cilacap, biasanya orang (pekerja) saya yang nganter,” ujarnya.
Untuk harga jualnya, disesuaikan dengan bahan baku. Wajan dengan ketebalan aluminium 4-5 milimeter dan panjang sekitar 1 meter laku Rp 2,1 juta.
Bahan utamanya plat aluminium. Alumunium itu dipotong bulat dan dibakar, lalu dibentuk menjadi wajan. Dalam membuat industri itu, dia dibantu oleh satu perajin, Muhtarom. Satu orang lainnya bertugas mengantar pesanan.
Dalam membuat satu buah wajan, Iim membutuhkan waktu satu hari. Ia mengerjakanya sejak pagi sampai sore. “Pembuatan wajan maupun alat dapur lain di sini kan berisik. Jadi tidak pernah lembur,” katanya.
Omzet
Dalam satu bulan, wajan produksinya laku 20 buah. Dengan demikian, bila dikalikan dengan harga jual, omzetnya berkisar Rp 40 juta per bulan. “Omzetnya sekitar itu,” ujarnya.
Dia membeli bahan dari toko khusus penyedia di daerah Purwokerto dan kota Cilacap. Di kota-kota kecil seperti Sidareja juga ada toko yang menyediakan, namun relatif terbatas.
“Kalau di Purwokerto, saya pesan, lalu diantar. Tapi kalau di Cilacap saya yang berangkat sendiri,” ungkapnya.
Lain halnya dengan pembuatan tempat olahan jenang, dikenal jadi, atau alat memasak nasi, dikenal dandang buatannya. Perabot itu bahan dasarnya tembaga. Karena itu, proses pembuatannya lebih lama.
Dalam membuat jadi, dia membutuhkan waktu antara 10 sampai 15 hari. Pembelinya tidak sebanyak wajan, namun jangkauannya lebih luas.
“Kalau produk berbahan tembaga pasarnya lebih luas, sampai ke Sulawesi, Kalimantan sampai ke Sumatera,” ujar dia.
Untuk produk jadi berbahan tembaga, harga jualnya sampai Rp 20an juta. Karena satu buah jadi umum menggunakan 50 kilogram tembaga. “Untuk produk berbahan dasar tembaga itu, penjualanya tergantung ukuran dan berat. Dalam satu kilogram tembaga, itu umum dijual Rp 400.000,” tutur dia.
Diceritakan, profesi sebagai tukang sayang sudah menjadi penopang hidup keluarganya. Wajan, jadi maupun dandang yang dijual, diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penghasilan itu pula yang diandalkan untuk membiayai sekolah bagi 11 anaknya.
Masih lekat dalam ingatannya, mulai menekuni pekerjaan sebagai tukang sayang sejak lulus sekolah dasar, tahun 1974. Usaha dan bakatnya merupakan warisan dari orang tua dan lingkungan sekitarnya.
“Dulu, bapak dan dari kakek yang jadi tukang sayang. Sejak kecil saya suka dilatih. Akhirnya sampai sekarang jadi penerusnya,” kenang dia. (Teguh Hidayat Akbar-52)