PURWOKERTO – Peluncuran buku antologi puisi Eidetik oleh penerbit lokal SIP Publishing, 2 Februari 2020 lalu, menuai pro kontra dikalangan peminat sastra. Pasalnya, buku kumpulan puisi tersebut dinilai tidak melewati proses kurasi yang ketat.
Hal itu mengemukan pada Forum Diskusi Komunitas Penyair Institute (KPI) Banyumas di gedung teater indoor Taman Budaya Soetedja, Purwokerto, Sabtu (22/2) malam. Akademisi serta penulis Dimas Indiana Senja mengatakan, pembuatan buku tersebut menafikkan proses kurasi. Padahal sebuah karya sastra harus mengedepankan kualitas sebab melibatkan pembaca dalam jumlah yang banyak.
“Proses pembuatan ini menjadi perbincangan di media sosial. Hingga muncul forum diskusi ini,” ujarnya saat membuka diskusi.
Dia mengaku khawatir terjadi penurunan kualitas sastra terutama di wilayah Banyumas. Oleh karena itu, pihaknya mendorong untuk setiap penerbit melakukan seleksi karya yang dikirimkan.
Sementara itu, akademisi sekaligus sastrawan, Teguh Trianton mengatakan, selain persoalan kurasi itu, pihaknya juga menyoroti adanya sertifikat “penyair” untuk penulis antologi puisi Eidetik. Sebetulnya hal tersebut tidak diperlukan.
“Kesannya (dalam perdebatan di facebook) saya melarang. Menulis cerpen tidak boleh, puisi tidak boleh. Fenomena guru membuat buku kumpulan cerpen atau puisi sudah pernah saya singgung pada artikel opini dan beberapa forum diskusi. Memang menjadi kebutuhan guru (menulis buku) untuk kredit. Tapi yang jadi masalah kenapa <I>sih<P> ada sertifikat. Sertifikat itu tidak mendidik,” tandasnya.
Anton mengaku tak pernah melarang semua orang termasuk guru untuk menulis puisi atau atau cerpen. Hal itu merupakan hak bagi siapapun. Tetapi dia berharap seorang guru dapat menulis tentang suatu hal yang menjadi bidangnya.
Dia menandaskan, tidak memiliki niat untuk mematikan kreatifitas orang lain. Namun, hal yang paling penting adalah menunjukkan jalan yang baik untuk membuat sebuah karya sastra dalam bentuk buku.
Gejala Dekadensi
“Saya membaca gejala ada arah menuju dekadensi sastra. Guru menulis yang tidak sesuai bidangnya karena kepepet (mengejar kredit) akhirnya membuat cerpen puisi dan sebagainya,” keluhnya.
Sementara itu, pemilik SIP Publishing Indra Defandra mengatakan, proses pembuatan antologi tersebut dilakukan secara terbuka. Bahkan dibagikan melalui media sosial.
“Yang berminat cukup banyak. Ada juga yang baru pertama kali mengirim (karya puisi),” tuturnya.
Meski demikian, pihaknya mengakui sejumlah kekurangan. Salah satunya adalah tidak adanya proses kurasi.
Menurutnya, pembuatan antologi puisi ini bertujuan untuk membuka ruang seluas luasnya bagi para pemula untuk menerbitkan buku puisi. Sebagai penerbit, dia hanya bertugas untuk menyebarluaskan produknya tersebut.
“Kalau tidak bisa berarti saya gagal,” tegasnya.
Salah satu penulis pada antologi puisi Eidetik, Agustav Triono, mengatakan, bagi para penulis pemula pada buku ini sebetulnya tidak mempermasalahkan tidak adanya proses kurasi. Namun, lantaran menjadi perdebatan di media sosial hal ini akan berdampak bagi mental para penulis puisi pemula.
“Baru mulai, sudah dikritik atau dinyinyiri. Nanti ada dua hal, satu malah semangat dan kedua malah mental,” ujar guru Wiyata Bhakti yang mengaku rajin mengirim karya puisi ke sejumlah penerbit ini.
Dia mengaku telah memberikan masukan kepada penerbit SIP Publishing untuk melakukan proses kurasi. Namun, hal ini belum terpenuhi.
Menurutnya, para penulis puisi “pinggiran” yang belum pernah ditempa dalam obrolan sastra atau komunitas masih membutuhkan proses lebih panjang. Sebab mereka baru saja memulai untuk berkarya. “Bagi saya sastra itu untuk semua. Kalau penulis baru kan baru proses dan perlu didorong lagi,” ujarnya. (K35-52)