RUMPUT atau dalam bahasa Jawa disebut suket, sudah menjadi keseharian masyarakat. Bagi petani suket menjadi gulma, bagi peternak bisa menjadi pakan ternak, bagi orang kebanyakan suket menjadi tanaman yang mengganggu pemandangan halaman.
Suga menembus dimensi menjadi bagian dari seni. Tengok saja seni wayang suket nan estetis, atau bahkan menjadi salah satu judul lagu hits, dari Sang Bapak Patah Hati Nasional, Didi Kempot ”Suket Teki”.
Terkini, suket bahkan semakin tak terbantahkan eksistensinya di kolong zaman. Pakan ternak itu ternyata juga bisa jadi bahan bangunan.
Djamaluddin Ramlan merupakan aktor intelektual dibalik suket jadi bahan bangunan. Dosen Poltekkes Kemenkes Semarang Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto itu, benar-benar mengubah suket menjadi batu bata.
“Awal mula, ada kegelisahan karena masalah sampah kerap tidak selesai. Bisa tidak sampah menjadi bahan baku? bila bisa maka akan dibutuhkan banyak sampah untuk dibuat sebuah produk. Produk itu tentu bisa dimanfaatkan sehingga tidak ada sampah,” ujar alumni S3 Ilmu kesehatan, Bidang Kesehatan Kerja, Unair itu.
Ketimbang membuat kompos, ia memilih jalur anti mainstream dengan mengubah suket dan sampah organik halus lain menjadi batu bata.
Hal ini bukan tanpa alasan, pria asli Makassar itu punya impian, suatu saat orang kurang mampu bisa memiliki rumah sehat, tanpa biaya besar.
“Bata ini saya sebut Bata Djamal, bisa dibuat oleh siapapun, karena bahan murah serta mudah didapat. Semisal setiap hari membuat lima bata saja, dalam sebulan sudah terkumpul ratusan batu bata. Jika mau buat rumah, tinggal beli semen dan pasir saja, jadi biaya tidak banyak,” ungkapnya.
Dengan suka rela ia membagikan ramuan membuat batu bata berbahan suket. Untuk membuat satu batu bata, dibutuhkan satu kilogram rumput atau sampah organik halus lain yang sudah dicacah.
Bahan itu kemudian dicampur dengan campuran kapur seperempat kilogram, dan pasir halus seperempat kilogram, ditambah bahan perekat. Langkah berikutnya bahan dibuat adonan dan dicampur air secukupnya. Setelahnya dimasukkan ke cetakan dan dipress.
“Setelah selesai dipress, dibiarkan saja di ruang terbuka tapi tidak kena panas, tidak kena hujan. Agar benar-benar kering, butuh waktu sekitar seminggu,” terangnya.
Selain batu bata berbahan suket dan sampah organik, ia juga mengembangkan batu bata, genteng, dan keramik dinding berbahan plastik. Pria rendah hati itu mengakui, bahwa temuannya itu masih belum sempurna, dan masih perlu pengembangan lebih lanjut.
Namun, ia berharap temuannya itu dapat memberikan sumbangsih bagi lingkungan, maupun bagi sesama manusia. (Gayhul Dhika Wicaksana-60)