Bencana membuat kita melakukan refleksi ‘kita juga harus belajar dari bencana’. Agar ada proses mitigasi bencana, sehingga siap ketika peristiwa terjadi dan bagaimana pemulihan setelah peristiwa terjadi.
PADA Januari 2021, pandemi Covid-19 belum berakhir. Pandemi ini juga merupakan bencana kemanusiaan, karena menyebabkan krisis di berbagai bidang.
Dalam kondisi pandemi, berbagai peristiwa terjadi secara beruntun, mulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182, terjadinya banjir, banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, dan gunung meletus.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 197 bencana terjadi di seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 1 hingga 23 Januari 2021. Sebagian besar merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana yang terjadi sebagai dampak dari fenomena meteorologi/alam.
Reaksi masyarakat terhadap bencana yang terjadi di tanah air beragam. Sebagian ikut prihatin, bersimpati, berempati, ada yang menggalang dana untuk bantuan kemanusian, dan ada yang memberikan bantuan ke daerah yang terkena bencana. Jadi, reaksinya ada yang sekedar kata-kata, ada yang aksi nyata.
(Baca Juga: Pemkab Banjarnegara Bantu Rp 1 Miliar untuk Lima Daerah Bencana)
Reaksi berupa kata-kata ini juga tidak kalah seru dan serius apalagi membincangkan bencana dikaitkan dengan persoalan politik dan agama. Perbincangan ini riuh di berbagai platform media sosial (medsos). Ada yang berkeyakinan berbagai bencana yang terjadi di wilayah Indonesia akibat Tuhan murka kepada manusia, akibat penguasa yang zalim. Ada yang berpendapat gara-gara warga yang berbuat dosa dan maksiat, atau diyakini sebagai tanda-tanda kiamat.
Pola Pikir
Perbincangan yang terjadi sudah mengarah pada perdebatan sengit, bernada permusuhan dan ada kalanya saling mencaci. Menurut saya, efek dari hal tersebut tidaklah ringan karena berkaitan dengan pola pikir kita menghadapi bencana.
Jika terjadi bencana kita sibuk saling menyalahkan, bahkan menyalahkan hal-hal yang bersifat abstrak (kadang absurd) maka kita tidak akan merasa ikut bertanggung jawab terhadap bencana. Khususnya bencana alam akibat tindakan manusia dalam memanfaatkan dan memperlakukan alam.
Gempa bumi, gunung meletus, tsunami terjadi karena kondisi alam yang berada di wilayah rawan gempa dan banyak gunung berapi. Longsor dan banjir bisa terjadi karena kondisi geografis dan struktur tanah yang labil, faktor curah hujan ekstrim, dan faktor alam lainnya. Namun banjir dan tanah longsor juga bisa disebabkan karena perilaku manusia menggunduli hutan, menempati daerah aliran sungai, dan perbuatan lain yang merusak ekosistem atau keseimbangan alam.
Jika ditelusuri, definisi bencana menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yaitu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Tiga Faktor
Setidaknya ada tiga faktor penyebab bencana, yaitu faktor alam (natural disaster), faktor nonalam (non-natural disaster) dan faktor sosial/manusia (man-made disaster) misalnya konflik horizontal, konflik vertikal, dan terorisme. Setelah memahami hal tersebut maka kita bisa jernih berpikir bahwa bencana harus dikenali faktor penyebabnya. Agar kita bisa memininalisir kerugian harta benda dan korban. Sekaligus tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan akibat perdebatan yang berujung saling menyalahkan, menimbulkan permusuhan dan perpecahan.
Bencana membuat kita melakukan refleksi ‘kita juga harus belajar dari bencana’. Agar ada proses mitigasi bencana. Sehingga siap ketika peristiwa terjadi dan bagaimana pemulihan setelah peristiwa terjadi. Belajar dari bencana artinya kita harus menyiapkan diri melalui edukasi supaya kita siap secara mental, fisik, maupun infrastuktur yang diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan negara rawan gempa seperti Jepang.
Bekerjasama dan saling mendukung dalam bencana akan lebih baik dibandingkan saling menyalahkan. Saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah yang timbul akibat bencana: “lebih baik ikut menyalakan satu lilin daripada bertahan dalam kegelapan”.
Dr Sumiarti MA, Wakil Dekan III Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Purwokerto.
Diskusi tentang artikel