PURWOKERTO – Seni tradisi dalang jemblung dianggap sebagai akar teater di masa depan. Pasalnya, kesenian tersebut memiliki kemiripan dengan seni pertunjukan tersebut.
Teaterawan, Jarot C Setyoko mengatakan, unsur-unsur dalam pementasan dalang jemblung serupa dengan teater. Hampir sama dengan ketoprak atau ludruk di daerah Jawa Timur.
“Unsurnya juga hampir sama, ada cerita, pemain, dramaturgi dan pesan yang disampaikan,” katanya, di sela pementasan Wayang Jemblung dengan naskah “Dialog Gandari”, di Gedung Teater Taman Budaya Soetedja, Selasa (3/12) malam.
Menurut dia, dalam kurun waktu dua tahun ini, pementasan dalang jemblung mulai meningkat. Baik yang tradisi maupun kontemporer.
Salah satu pelaku seni yang konsisten menampilkan dalang jemblung kontemporer yaitu Agung “Totman” Wicaksana. Dia bahkan pernah tampil di Pulau Bali dalam suatu kesempatan.
“Maka dari itu, saya dan teman-teman seniman teater, tertantang untuk mengangkat seni tradisi dalang jemblung ini. Terutama karena unsurnya yang mendekati seni teater, jadi saya ajak teman-teman teater untuk merevitalisasi seni jemblung,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu anggota Pamong Budaya Banyumas, Tri Wardhana mengatakan, saat ini hanya tersisa satu pelaku seni dalang jemblung tradisional di Banyumas, yaitu Parman asal Kecamatan Tambak. Bila tidak diangkat, maka kesenian ini lama kelamaan akan punah.
“Persebaran dalang jemblung ini hanya ada di sekitar Tambak dan Sumpiuh. Dulu sekitar tahun 1970an banyak sekali grup jemblung. Lama kelamaan berkurang satu persatu,” ujarnya.
Sementara itu, pegiat komunitas Kiye Bae, Syaikhul Irfan mengaku pihaknya berupaya mengemas seni jemblung dalam bentuk pagelaran teater yang mudah dicerna oleh generasi muda masa kini. Sebab, bila dipentaskan dalam bentuk aslinya, tentu tidak banyak yang menyukainya.
“Sebelum pentas kami berusaha melakukan riset, dengan bertanya kepada orang-orang yang pernah menonton pertunjukan seni dalang jemblung. Karena memang sulit menemukan pelaku seni aslinya yang masih hidup,” katanya. (K35-52)