Ada yang menyebut, sejarah lengger di Banyumas tak lepas dari sejarah Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas. Desa agraris yang pernah menjadi bagian dari Kecamatan Jatilawang tersebut telah melahirkan ratusan penari hingga pelatih lengger. Berbagai gelar kesarjanaanpun lahir dari penelitian dari kampung lengger tersebut.
Namun demikian, cerita tentang seni lengger sepertinya selalu berbalut dengan kesedihan dan ketidakpastian. Deraan masalah ekonomi sering menjadi penghalang para seniman lengger untuk bertahan. Belum lagi gempuran budaya modern yang populis membuat seni tradisional Banyumas ini sering tergempur bahkan tersingkir.
“Sekarang orang lebih suka dangdut koplo atau musik lainnya daripada lengger. Dengan HP, VCD dan sebagainya orang bisa menikmati hiburan modern lewat teleivisi di rumah,” ujar Rahmat, salah satu pegiat paguyuban Lengger Sekar Wigati Gerduren beberapa waktu lalu.
Kenangan tentang kejayaan lenggerpun masih terngiang jelas di benak Rahmat. Sebagaimana diceritakan para pendahulunya, Gerduren terkenal sebagai kampung lengger. Para seniman lengger yang ingin terkenal biasanya akan datang ke Gerduren, untuk ‘nggayuh indhang lengger Nyai Kuning. Nyai Kuning atau Kastinem dipercaya sebagai maestro lengger Gerduren legendaris sekaligus mistis.
“Makanya sejak dulu hingga sekarang, penobatan atau wisuda lengger masih tetap dilaksanakan. Beberapa ritual khusus mulai dari mandi tujuh termasuk di Sumur Gowa dan petilasn Nyi Kastinempun dilaksanakan,” jelasnya.
Siapapun kata Rohmat, yang telah kerasukan indang lengger maka akan bisa menari dengan lemah gemulai sekaligus lincah. Iapun mempunyai daya pengasihan yang bisa menjadi orang yang melihatnya ‘gandrung’.
“Kalau laki-laki, dia bisa menari layaknya perempuan. Apalagi jika perempuan, makanya di masa lampau, banyak penari lengger yang akhirnya diperistri oleh priyayi, tentara dan penggede lainya,” terangnya.
Sesuai dengan penuturan warga Gerduren, lengger di Gerduren konon lahir sejak munculnya sosok Nyi Kuning. Nyi Kuning yang konon mempunyai nama asli Nyi Kastinem ini konon datang di tahun 1812. Ia adalah penari pendatang dengan logat Pasundan yang ‘manggung’ pertama kali di pernikahan lurah pertama Gerduren. Saat itu, iringan lengger belumlah berbentuk calung, melainkan dengan kenclung, cikal bakal calung.
“Namun sebagaimana kedatangannya yang misterius, kepergiannya Nyi Kuning juga tak jelas ke mana. Konon dia berpamitan ke arah Maos, tetapi malah ke utara. Sejak itulah, hingga beberapa tahun kemudian, ada orang ‘keranjingan dan menyebut nama Kastinem atau Nyi Kuning ini,” ujar Bambang Harsono, pegiat adat yang kini menjadi Kepala Desa Gerduren.
Sejak kepergian Nyi Kuning inilah, Gerduren makin dikenal sebagai kampung lengger. Banyak penari lahir dari berbagai daerah yang berasal dan digembleng di Gerduren. Apalagi di sinilah para penari lengger percaya akan indang Kastinem yang menaungi dan mengiringi kesuksesan mereka sebagai penari lengger. (Susanto-)