Lingkungan adalah masalah penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia, maka kesadaran untuk pelestarian lingkungan menjadi satu keniscayaan
AWAL tahun 2021 kita disuguhi berbagai peristiwa bencana alam, antara lain: bencana tanah longsor di Kabupaten Sumedang, bencana banjir di Kota Demak Jawa Tengah, Tanjung Pinang Riau, Kalimantan Selatan dan beberapa kota lainnya. Itu hanya beberapa kasus.
Tentunya masih banyak bencana alam lain terjadi pada tahun-tahun sebelumya, yang semua itu merupakan masalah lingkungan hidup.
Masalah lingkungan hidup adalah masalah kita bersama, menjadi agenda bersama dunia global. Artinya, ini menjadi isu penting dan tanggung jawab bersama. Satu bencana yang menimpa satu daerah atau negara tentu akan berimbas pada daerah atau negara tetangga lainnya. Kebakaran hutan yang terjadi di pedalaman Kalimantan, akan berimbas pada daerah-daerah sekitar.
Penebangan hutan secara liar akan berimbas pada krisis sumber mata air. Keadaan ini memaksa kita untuk menengok kembali aspek etis teologis dan etis antropologis dalam konteks perilaku kehidupan manusia dalam interaksinya dengan alam.
Dimensi Etis-Teologis: Konteks Islam
Sudah menjadi klaim teologis bahawa al Qur’an adalah petunjuk bagi perjalanan kehidupan manusia. Sangat jelas kita dapatkan pandangan mendasar al Qur’an tentang alam semesta. Merujuk pada al Qur’an antara lain terdapat dalam surat al ‘Araf dan surat al Baqarah, yang artinya;
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya siang dan malam, dan kapal yang berkayar di lautan membawa manfaat bagi manusia, dan air yang diturunkan Allah dari langit yang karenanya bumi yang tadinya gersang menjadi subur kembali, dan tersebarlah binatang melata di sana, dan berhembusnya angin serta awan yang berarak di antara langit dan bumi, sungguh semua itu merupakan tanda kebesaran Allah bagi orang yang berpikir. (Q.S. 2: 16).
“Janganlah kamu menimbulkan kerusakan di muka bumi setelah diperbaiki, berdoalah kepada Tuhanmu dengan rasa takut dan penuh harap, sungguh Rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang selalu berbuat baik”. (Q.S. 7: 56)
Dari ayat di atas kita melihat dasar ontologis teologi yang memandang Tuhan, manusia dan alam mempunyai hubungan yang integratif, Tuhan sebagai Pencipta, sedang manusia dan alam sebagai satu kesatuan ekosistem yang menempati posisi sejajar. Manusia diberi amanat sebagai khalifah (hak memanfaatkan alam), Allah juga memerintahkan manusia menjaga keseimbangannya.
(Baca Juga: Ratusan Siswa Kampanye Peduli Lingkungan)
Pandangan ini menemukan momentumnya pada makna tauhid, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Satu. Manusia dan alam berasal dari yang Maha Satu, menuntut sikap santun terhadap seluruh ciptaan Tuhan. Dari sini kita melihat penekanan pada pemuatan nilai (value loaded) nilai kesadaran pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan.
Dimensi Etis-Antropologis
Jika ditilik dari cara pandang dan perilaku manusia, terjadinya beragam problem lingkungan hidup yang terjadi, manusia mempunyai andil di dalamnya (Q.S. 30:41). Manusia seperti memiliki kekuasaan mutlak untuk menguasai alam seakan akan alam hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia semata, bukan untuk dirinya (alam) sendiri.
Kesalahan ini berpangkal dari cara pandang antroposentris yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta, sedangkan alam hanya merupakan alat bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
Cara pandang setidaknya memiliki tiga kelemahan (Keraf, 2010, 8). Pertama, manusia tidak dilihat sebagai makhluk ekologis yang identitasnya turut dibentuk oleh alam. Manusia ditempatkan sebagai makhluk sosial di mana keberadaan dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Dalam perspektif ini manusia berkembang dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya sebagaimana dia ikut membentuk komunitas sosial.
Kedua, norma dan nilai-nilai etis hanya dibatasi keberlakuannya untuk manusia. Ketiga, adanya pemisahan yang tegas antara alam sebagai obyek pengetahuan dan manusia sebagai subyek.
Tidak Relevan
Pemisahan ini membawa pada pandangan pengetahuan bersifat netral, dan bebas nilai, pengetahuan hanya untuk pengetahuan. Dengan demikian segala dampak baik positif maupun negatif perkembangan pengetahuan dimensi etis moral agama tidak relevan. Sikap ini cenderung melahirkan sikap destruktif, manipulatif dan ekploitatif, yang pada akhirnya menimbulkan beragam persoalan lingkungan.
Lingkungan adalah masalah penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia, maka kesadaran untuk pelestarian lingkungan menjadi satu keniscayaan. Kita dapat belajar dari dimensi etis teologis yang bersifat normatif dengan memperkuat tanggung jawab moral, satu kesadaran bahwa manusia juga dituntut mempunyai tanggung jawab moral terhadap pelestarian lingkungan semua kehidupan semua alam, termasuk entitas yang abiotis.
Upaya bersama ini mesti didukung oleh semua elemen masyarakat, menjadi kesalahan bersama jika tidak ada upaya bersama untuk mengurangi kerusakan lingkungan. Manusia harus dipahami sebagai makhluk biologis sekaligus ekologis, artinya manusia hanya dapat berkembang tidak hanya dalam komunitas sosial manusia saja, tetapi juga komunitas ekologis artinya kehidupan manusia terkait erat dengan semua makhluk ciptaan Tuhan di alam semesta.
Terjadinya bencana sebagai akibat rusaknya mentalitas moralitas manusia seringkali mendorong seseorang melakukan perilaku destruktif baik yang berhubungan langsung dengan kerusakan alam maupun tidak langsung. Jika perilaku destruktif berlangsung sacara luas, maka Allah akan meresponnya dengan berbagai peringatan salah satunya melalui bencana alam.
(Farichatul Maftuchah, dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora (FUAH) IAIN Purwokerto)