Siapa bilang, electronic sport (e sport) atau olahraga elektronik hanya berkembang di kota-kota besar saja. Di Banyumas Raya, ekosistem e sport ini juga terus bertumbuh. Komunitas E Sport Ngapak Asociation di Purwokerto hingga Nazone Gaming Team (NGT) yang bermarkas di Cilacap telah menjadi komunitas atlet e sport mengantongi banyak prestasi lokal, regional, nasional hingga internasional.
“Untuk NGT yang bermarkas di Cilacap, para ‘player’nya berasal dari Purwokerto-Cilacap. Dengan pelatihan yang terarah dan termanajemen, tim-tim e sport ini telah mendulang berbagai prestasi. Belum lama ini juga mewakili Jawa Tengah saat bertanding di Piala Presiden,” jelas Aulia El Hakim, Pengurus E Sport Ngapak Asociation Bidang Media.
Terkait dengan peluang prospektif di bidang e sport inilah, Hakim mendorong berbagai pihak termasuk orang tua untuk melihat secara jeli, imbang dan obyektif terhadap fenomena maraknya game online. Di tengah kekhawatiran orang tua, guru tentang kecanduan internet, kegandrungan anak muda akan game online sebenarnya bisa diarahkan menjadi hal positif.
“Di tengah ramainya e sport (olahraga elektronik), kemampuan bermain game secara profesional bisa membuahkan prestasi yang membanggakan untuk orang tua, lingkungan bahkan negara,” jelasnya.
Tidak selamanya game online ini berujung pada kemalasan belajar hingga masa depan generasi muda yang suram. Justru era 4.0 ini yang memunculkan maraknya aneka game dan konten internet lainya harus menjadi tantangan semua pihak.
“Bagi anak-anak yang suka game, arahkan mereka untuk berkomunitas. Arahkan mereka untuk bisa benar-benar menekuni minat dan bakatnya agar berprestasi. Jangan langsung dihakimi dilarang, karena hal itu justru akan semakin memperparah mereka,” kata pegiat Sekolah Komunitas Bhinneka Ceria Purwokerto.
Dengan berkomunitas inilah, para player game ini akan semakin tertata dan terarah. Fenomena maniak game yang berbicara dan berperilaku malas, jorok, kotor, keras dan tak pantas bisa diantisipasi dengan komunitas e sport. Iklim e sport tak jauh beda dengan olahraga fisik lainny di mana selain kemampuan individu atau tim, sportivitas, dan karakter atlet selama proses perlombaan juga sangat menentukan penilaian atau prestasi.
“Dengan berkomunitas inilah, bertahap mereka otomatis atau diarahkan untuk berlatih memperbaiki ‘habit’ (kebiasaan) ataupun ‘attitude’ (sikap). Karena selama perlombaan tentunya tidak pantas dan ada ketentuan untuk berbicara sopan dan sebagainya. Ketika menjadi atletpun mereka akan lebih bersih dan terarah hidupnya sehingga orang tua tak perlu khawatir dan justru bangga dengan prestasi mereka,” jelas lulusan Sosiologi Unsoed Purwokerto ini.
Terkait tuduhan game membuat anak malas belajar di sekolah bahkan kampus, maka perlu menjadi koreksi bersama terutama kalangan pendidik. Kebiasaan anak yang berinteraksi dunia internet, membuat mereka terbiasa menikmati sajian yang menarik kreatif, dan inovatif. Makanya tak mengherankan ketika pembelajaran di kelas atau ruang kuliah dilaksanakan konvensional maka akan tertinggal bahkan ditinggalkan.
“Sebut saja, kalau orang mau mengisi konten YouTube yang serius, mereka dari awal telah sadar media audio visual. Mereka akan membuat lead, pembukaan, tumbnail, hingga isinya agar lebih menarik dilihat. Jadi mereka bisa dibilang berpikir lima kali lebih keras dari biasanya,” katanya.
Kemudahan mendapatkan ilmu dan keterampilan melalui Google hingga YouTube inilah yang juga sering membuat anak-anak melampaui pengetahuan yang dimiliki gurunya. Kecepatan dan kemampuan memberikan aksesibilitas pengetahuan dan keterampilan oleh media digital inilah yang sering tak tertandingi oleh guru-guru konvensional.
“Berbeda dengan di kelas atau sekolah, pembelajaran sesuatu hal di media digital misalnya YouTube seringkali menjadi lebih menarik. Hal yang berat seperti misalnya soal feminisme atau lainnya bisa disampaikan dengan asyik, menyenangkan dan bisa dipahami. Sementara seringkali di sekolah, pembelajaran terpaut ruang waktu belajar, guru yang telah diatur, seringkali kaku dan membosankan,” jelasnya.
Di tengah era digital inilah, pola konsumsi pengetahuan anak termasuk para ‘gamer’ inipun sudah terbiasa instan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dengan cepat. Terkait hal itulah, diharapkan para pengambil kebijakan, pelaku kebijakan di bidang pendidikan harus cepat merespon hal ini sehingga bisa beradaptasi dengan perubahan yang cepat di kalangan anak-anak ini.
“Kalau perlu sekolah bikinkan ekstra kulikuler game di sekolah. Arahkan mereka secara positif. Orang tua juga sebaiknya jangan hanya melarang tanpa mengetahui secara pasti apa yang dilarang. Jadi jangan sampai kata candu terhadap game online ini menjadi ambigu,” tandasnya.(Susanto-)
Diskusi tentang artikel