“MERDEKA belajar itu bahwa proses pendidikan harus menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat peserta didik, bahagia buat orang tua, dan bahagia untuk semua orang”. Demikianlah salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang hingga saat ini masih hangat dibicarakan bahkan diperdebatkan sampai sekarang.
Ya, kemerdekaan untuk menuju kebahagiaan tentulah tak semudah diucapkan. Namun kemerdekaan adalah kata benda yang harus dicapai dengan perjuangan melalui kerja nyata. Merdeka belajar setidaknya membutuhkan kerja keras dari seluruh elemen pendidikan mulai dari guru, siswa, orang tua, masyarakat dan pihak lain yang mungkin terkait. Semua pihak bergotong royong membuat suasana pendidikan yang membahagiakan.
Konsep trisentra pendidikan, yaitu alam keluarga, alam perguruan dan pergerakan pemuda beserta peranannya sebagaimana disampaikan Ki Hajar Dewantara (2004: 74) masih relevan hingga saat ini. Hubungan erat dan sinergi trisentra pendidikan penting untuk mewujudkan pendidikan yang dapat menghidupkan, menambah, dan menggembirakan perasaan hidup bersama sebagaimana menjadi tujuan dari ‘merdeka belajar’.
Ditekankan Ki Hajar Dewantara, tiap-tiap pusat pendidikan ini idealnya harus tahu kewajibannya dan mengakui hak-hak pusat lainnya. Keluarga harus bisa mendidik budi pekerti dan laku sosial, perguruan sebagai balai wiyata yaitu buat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek. Sementara pergerakan pemuda sebagai daerah merdekanya kaum pemuda untuk pembentukan watak.
Dipraktikkan Tiga Sentra Pendidikan
Di tengah era pandemi korona saat ini, konsep merdeka belajar langsung dapat dipraktikkan ketiga sentra pendidikan. Adanya pembatasan sosial hingga belajar dari rumah membuat siswa, guru dan orang tua harus saling bekerja sama untuk mendorong agar pendidikan tetap berlangsung tanpa harus tatap muka langsung.
Konsep guru penggerak yang dituntut inovatif, kreatif serta solutif di tengah keterbatasan telah teruji di era pandemi ini. Dengan keterbatasan ruang dan waktu, guru tertuntut untuk bisa menyajikan materi pembelajaran yang lebih menarik dengan berbagai macam media pembelajaran termasuk dalam jaringan (daring). Guru yang tadinya gagap teknologi (gaptek) sekarang menjadi tertuntut untuk lebih melek pada aneka aplikasi pendukung
pembelajaran. Selain itu guru menjadi bagian titik pusat penghubungperantara keluarga, anak-anak dan masyarakat.
Bagi para siswapun, era pandemi menjadi ujian bagi mereka untuk tetap bersikap jujur, belajar keras dan belajar cerdas di rumah. Dengan memanfaatkan media teknologi informasi, para siswa dituntut untuk bisa belajar memanfaatkan teknologi secara efektif dan efisien. Belajar membuat prioritas dan bijak menggunakan internet seyogyanya bisa menjadi pembelajaran berharga bagi para siswa.
Bagi keluarga khususnya orang tua, adanya pandemi ini menjadi bagian ujian yang berharga terutama bagi mereka yang masih dalam keterbatasan ekonomi. Keterbatasan sarana prasarana hingga kuota internet untuk pembelajaran anak menjadi tantangan bagi orang tua untuk berjihad mendidik anaknya. Termasuk juga di dalamnya adalah mengarahkan anak untuk bijak dan memberikan contoh memanfaatkan teknologi informasi untuk hal-hal positif.
Kepedulian berbagai pihak termasuk pergerakan pemuda, komunitas masyarakat, pemerintah desa yang telah membantu menyediakan akses internet gratis kepada masyarakat termasuk pelajar patut diapresiasi. Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberikan bantuan biaya untuk kuota internet bagi siswa, guru dan dosen menjadi bukti komitmen gotong royong mendorong merdeka belajar juga diharapkan dapat terealisasikan.
Kabar baik pula, tidak adanya akses internet di wilayah terpencil telah disiasati oleh para guru yang rela berkunjung ke rumah siswa dengan bergantian dan tentunya dengan protokol kesehatan yang ketat. Hal ini pulalah yang dilaksanakan sejumlah pendidik anak usia dini.
Memahami konsep merdeka belajar di era sekarang ini, kiranya bisa melihat kembali konsep pendidikan nasional menurut paham Taman Siswa sebagaimana Ki Hajar Dewantara. Dalam konsep ini ditegaskan pendidikan nasional adalah pendidikan yag beralaskan garis-hidup dari bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia ke seluruh dunia (2004: 15).
Dalam kondisi pandemi sekarang ini, terlihat gotong royong trisentra pendidikan di sebagian wilayah Indonesia semakin terlihat. Betapa konsep ‘merdeka belajar’ menjadi hal yang memang harus diperjuangkan bersama. Tri sentra pendidikan sudah seharusnya saling bersinergi, berhubungan dan menguatkan sehingga pendidikan sebagai daya upaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect), tubuh anak bisa diwujudkan. Semoga.
*Falinda Rakhmawati, Guru MI Maarif NU 1 Kranggan, Banyumas