SuaraBanyumas- Teknologi AI atau Kecerdasan Buatan telah menjadi salah satu inovasi teknologi yang paling menjanjikan dan berpengaruh dalam beberapa dekade terakhir. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan AI telah melampaui batas-batas yang ada sebelumnya, membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan.
Teknologi AI memungkinkan komputer dan sistem untuk meniru kemampuan manusia dalam pemahaman, pembelajaran, dan pengambilan keputusan. AI memiliki potensi untuk meningkatkan pengalaman belajar, namun akhir-akhir ini banyak yang ketergantungan terhadap AI itu sendiri seperti ChatGPT.
Baru-baru ini, terjadi di Texas A&M University–Commerce kekhawatiran terhadap teknologi AI. Peristiwa tersebut bermula saat seorang profesor secara keliru menuduh seluruh kelas melakukan plagiarisme berdasarkan penggunaan model bahasa AI yang disebut ChatGPT.
Kejadian ini telah memicu diskusi tentang penggunaan AI yang bertanggung jawab dalam pendidikan dan perlunya pedoman yang jelas untuk mencegah kesalahpahaman tersebut. Meskipun ChatGPT dapat menghasilkan teks, termasuk esai tingkat perguruan tinggi, ChatGPT tidak dirancang untuk mendeteksi plagiarisme yang dihasilkan oleh AI.
Dilansir dari ubergizmo, seorang Profesor (Dr. Jared Mumm) telah memanfaatkan ChatGPT untuk menguji apakah mahasiswanya telah menggunakan AI untuk membuat tugas akhir mereka. Namun, dia tidak menyadari bahwa ChatGPT tidak berfungsi sebagai alat pendeteksi plagiarisme.
Kemudian setelah dilakukan pengecekan makalah melalui ChatGPT, AI secara keliru mengklaim bahwa semua tugas dibuat oleh chatbot itu sendiri. Akibatnya, kelas menghadapi tuduhan plagiarisme, yang menyebabkan penahanan sementara ijazah mereka.
Dr. Mumm memberi pilihan terhadap mahasiswa yang gagal disetiap esai untuk menyerahkan tugas tata rias atau berisiko gagal dalam kursus dan tidak lulus dengan nilai “X”.
Namun, Mahasiswa tidak tinggal diam. Ia berusaha membuktikan keaslian karya mereka dengan memberikan stempel waktu di Google Documents mereka, tetapi profesor itu dengan acuh menjawab, “Saya tidak menilai omong kosong AI.”
Meskipun seorang mahasiswa berhasil membersihkan namanya dengan memberikan stempel waktu Google Docs dan menerima permintaan maaf, masalah tersebut telah diteruskan ke administrasi universitas. Universitas A&M Texas mengonfirmasi bahwa tidak ada siswa yang gagal dalam kelas atau dicegah untuk lulus karena insiden tersebut.
Investigasi saat ini sedang berlangsung, dan ijazah siswa ditahan untuk menunggu tindakan lebih lanjut. Penyalahgunaan ChatGPT dalam hal ini menyoroti perlunya pemahaman dan kesadaran yang tepat akan kemampuan dan keterbatasan alat AI dalam lingkungan pendidikan.
Beberapa program AI yang khusus dikembangkan untuk mendeteksi plagiarisme antara lain Winston AI, Content at Scale, Writer AI, GPTZero, dan Giant Language Model Test Room (GLTR). OpenAI, perusahaan induk ChatGPT, memang menawarkan alat pendeteksi plagiarismenya sendiri tetapi keakuratannya dianggap terbatas.
Insiden ini telah memicu perdebatan seputar penggunaan AI yang bertanggung jawab dalam pendidikan dan menyerukan pedoman yang lebih jelas tentang penggunaan alat AI untuk menghindari kesalahpahaman serupa dan tuduhan yang tidak adil. Sementara beberapa sekolah di Amerika Serikat telah mengambil langkah-langkah untuk memblokir ChatGPT agar tidak digunakan di kampus, tanggapan dari institusi secara global tetap beragam.
Penting bagi institusi pendidikan untuk mempertimbangkan dengan cermat implikasi penggunaan AI dan menetapkan kebijakan yang tepat untuk memastikan integritas akademik sambil memanfaatkan manfaat teknologi AI.
Terlalu mengandalkan bantuan AI dapat menghambat perkembangan kemampuan menulis dan berpikir kritis. Mahasiswa harus menemukan keseimbangan antara menggunakan ChatGPT sebagai alat pendukung dan menumbuhkan kemampuan mereka melalui praktik dan pemikiran independen.