SUARA BANYUMAS – Pasacpemilu 1999, pembentuk undang-undang memutuskan untuk mengubah sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list) untuk memilih anggota DPR dan DPRD sehingga pemilih bisa langsung mencoblos caleg pilihannya di surat suara.
Surat suara bukan hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg yang diusung partai. Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU Nomor 12 Tahun 2003, hal itu masih dilakukan melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system), dimana caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut bilangan pembagi pemilih (BPP).
Demikian disampaikan oleh pegiat dan praktisi pemilu Titi Anggraini selaku ahli dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (15/5/2023) lalu.
Adapun agenda sidang saat itu yakni mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Derek Loupatty selaku Pihak Terkait pengujian UU Pemilu dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.
Derek menghadirkan tiga orang ahli untuk didengar keterangannya dalam persidangan, yakni Titi Anggraini (pegiatan dan praktisi pemilu), Zainal Arifin Mochtar (Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta), dan Khairul Fahmi (Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Pemilihan Umum Fakultas Hukum Universitas Andalas).
Dalam sidang, Titi yang hadir secara luring menyebut, pilihan proporsional terbuka secara gradual tersebut dibatalkan MK melalui Putusan No.22-24/PUU-VI/2008. MK menyebut setiap caleg mestinya dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.
“Sehingga persyaratan 30% BPP yang harus dipenuhi caleg untuk mendapat kursi dan kalau tidak maka akan kembali berdasar nomor urut, dipandang MK sebagai sesuatu yang menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif,” kata Titi seperti dikutip dari kanal resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Titi berharap, di masa depan sangat mungkin ada evaluasi ataupun modifikasi atas pilihan sistem pemilu. Jika MK mengunci pada satu pilihan sistem saja, hal itu akan berdampak pada kesulitan untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang.
Oleh karena itu, menurut Titi, bila menilik beberapa Putusan MK termutakhir, maka sudah sewajarnya jika MK menempatkan pengaturan soal sistem pemilu ini sebagai ranah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Akan tetapi, MK perlu memberikan rambu-rambu pada pembentuk undang-undang terkait asas dan prinsip dalam memilih sistem pemilu, sebagaimana yang dilakukan MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menyangkut pilihan model keserentakan pemilu.
MK juga penting menegaskan dalam putusannya terkait konsistensi pilihan sistem pemilu terhadap berbagai variabel teknis yang menyertainya sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya.
Misalnya saja, tidak relevannya penggunaan nomor urut dan opsi mencoblos partai pada sistem proporsional terbuka dengan popular vote (suara terbanyak murni). Apabila masih diperbolehkan mencoblos tanda gambar partai maka partai menjadi wajar untuk diperbolehkan menentukan preferensi caleg pilihannya apabila partai memperoleh suara terbanyak.
Hal itu misalnya seperti di sistem pemilu Australia yang mengenal konsep below the line dan above the line. Below the line pemilih sepenuhnya memilih pemeringkatan caleg sesuai kehendaknya, sedangkan pada above the line pemilih memberikan otoritas pada caleg untuk menentukan caleg yang akan memperoleh suara. Tentu detail teknisnya harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang maupun Peraturan KPU.
Ke depannya, bila akan dilakukan peninjauan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang, maka mestilah dilakukan secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan secara jelas tujuan-tujuan pemilu yang hendak dicapai.
Harus dipastikan bahwa pilihan atas sistem pemilu adalah koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat.
Selain itu, untuk mencegah kehadiran petualang politik oportunis atau caleg kutu loncat, apapun pilihan sistemnya mesti disertai syarat caleg harus berstatus kader partai selama kurun waktu tertentu. Misalnya, minimal tiga tahun sebelum pendaftaran caleg dilakukan.
Lalu bagaimana dengan Pemilu 2024? Menurut Titi, kondisi objektif saat ini jelas tidak memungkinkan untuk mengubah sistem pemilu, khususnya berkaitan dengan metode pemberian suara.
“Sebab tahapan pemilu sudah berjalan dan memasuki fase-fase krusial. Lebih baik semua pihak fokus pada mempersiapkan seluruh tahapan secara optimal serta mencegah dan mengantisipasi berbagai potensi masalah yang bisa muncul. Terutama bila berkaca pada evaluasi dan refleksi penyelenggaraan pemilu serentak 2019 lalu,” jelas Titi.
Pengalaman Pahit
Sementara Khairul Fahmi dalam persidangan menjelaskan beberapa hal mengenai sejarah singkat terbentuknya sistem proporsional terbuka. Pertama, awal mula dipilihnya sistem ini merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang.
“Jatuhnya pilihan pada sistem proporsional terbuka tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit penerapan sistem proporsional tertutup selama pemilu-pemilu Orde Baru. Sistem proporsional tertutup yang diterapkan kala itu dinilai telah menghasilkan wakil-wakil yang lebih merepresentasikan kepentingan elit parpol dibandingkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pengalaman buruk tersebut membawa para pembentuk undang-undang pada tahun 2003 untuk menjatuhkan pilihan kebijakannya pada sistem proporsional terbuka,” terangnya.
Kedua, sejak awal reformasi pembentuk undang-undang telah menyepakati sistem proporsional terbuka, bukan proporsional tertutup. Perdebatan yang terjadi terkait pilihan sistem ini hanya pada varian yang hendak diterapkan, apakah dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan persentase angka BPP atau bukan.
Ketiga, MK lebih pada mengambil posisi untuk memperkuat dan mempertegas pilihan sistem proporsional terbuka tersebut dengan menghilangkan syarat perolehan BPP dalam penentuan calon terpilih. Langkah tersebut diambil karena hal ini yang dinilai lebih sejalan dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip prosedural demokrasi yang dianut dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Menurut Khairul, sistem proporsional terbuka telah dilegitimasi oleh MK melalui Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008. Hingga saat ini, sama sekali tidak terdapat alasan konstitusional yang kuat bagi MK untuk mengubah pendiriannya.
Kalau pun misalnya MK hendak berubah pandangan dari apa yang sebelumnya telah dituangkan dalam putusan tersebut, menjadi tidak tepat pula jika MK mencoba membalikkan atau mengganti sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup.
Sebab, pilihan sistem proporsional terbuka tersebut pada awalnya merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang, di mana MK lebih pada posisi menggeser variannya ke pendulum (varian) yang dinilai lebih sesuai dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip demokrasi. Artinya, MK bukan pada posisi mengganti satu sistem dengan sistem lainnya.
Kedaulatan Rakyat
Sedangkan Zainal Arifin Muchtar dalam persidangan secara daring mengatakan pemilu dengan segala sistem dan fitur-fiturnya merupakan open legal policy para pembentuk undang-undang. Artinya, pilihan bagi pembentuk UU untuk memilih sistem pemilihan yang lebih sesuai dan kompatibel dengan suatu negara dan tujuan yang ingin dicapai dalam sistem pemilihan.
Baik sistem proporsional terbuka suara terbanyak maupun proporsional tertutup, keduanya sangat mungkin digunakan oleh karena disesuaikan dengan keadaan dan tujuan yang ingin dicapai dari suatu aturan kepemiluan. Walau harus diakui secara praktik, sangat jarang tujuan itulah yang akan menjadi panduan utama, sebab banyak alasan dibalik pemilihan sistem pemilihan, tetapi biasanya lebih bernuansa politis.
Sehubungan hal ini, terabasan terhadap open legal policy oleh Mahkamah Konstitusi terlihat dalam putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Berdasarkan Suara Terbanyak.
Mahkamah berpendapat pemilu dengan sistem proporsional terbuka memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan calon legislatif yang dipilih. Sistem ini merupakan cara mudah untuk menentukan siapa yang terpilih dengan melihat perolehan suara paling banyak. Alasan utamanya oleh karena MK ingin menegakkan prinsip kedaulatan rakyat yang lebih menjaminkan keadilan.