PURWOKERTO – Persoalan penanganan anak berkebutuhan khusus (ABK), dinilai semata-mata tidak hanya menyangkut kesadaran orang tua dalam memberikan layanan pendidikan.
Namun demikian, ketersediaan guru pendamping yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa juga menjadi kendala.
Kabid Pembinaan SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Enas Hindasah mengatakan, sebenarnya sebagian Sekolah Luar Biasa (SLB) di Banyumas yang mayoritas merupakan sekolah swasta, sudah memiliki guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa (PLB).
Namun seiring dengan adanya kebijakan penarikan guru PNS dari sekolah swasta, guru dengan latar belakang PLB yang mengajar di SLB swasta itu ditarik untuk bertugas di SLB negeri. Sementara di Banyumas keberadaan SLB negeri tidak ada, sehingga mereka ditugaskan di luar Banyumas.
Adapun untuk sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusi, lanjut dia, sebenarnya memiliki guru pendamping khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Meski begitu, latar belakang pendidikan mereka bukan dari pendidikan luar biasa.
Minimnya guru pendamping yang memiliki latar belakang pendidikan khusus ini, salah satunya disebabkan jumlah perguruan tinggi yang membuka program studi pendidikan luar biasa tidak banyak. Bahkan di Kabupaten Banyumas belum ada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi tersebut.
Minim Perguruan Tinggi
”Memang ada beberapa perguruan tinggi di luar Banyumas yang membuka program studi pendidikan luar biasa. Tapi jumlah lulusannya juga tidak banyak, sehingga kebutuhan akan guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa masih kurang,” jelas dia.
Sementara itu jumlah sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusi di Kabupaten Banyumas, setiap tahun terus bertambah. Hingga saat ini tercatat ada sebanyak 623 sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusi.
Sekolah-sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tersebut sudah mendapatkan SK (Surat Keputusan) penetapan dari Dinas Pendidikan.
Menurutnya, seluruh sekolah berkewajiban untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tanpa kecuali. Bahkan sekolah tidak diperbolehkan menolak manakala ada anak berkebutuhan khusus mendaftar sebagai peserta didik.
”Sekolah tidak boleh menolak ABK, sebab bagaimanapun juga mereka berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Makanya konsep yang diterapkan adalah sekolah inklusi,” jelas dia.
Adapun konsep sekolah inklusi merupakan sekolah yang menerapkan sistem pembelajaran, di mana sebagian peserta didiknya merupakan anak berkebutuhan khusus. Selain mendapatkan layanan pendidikan tersendiri, mereka juga didorong untuk bergaul dengan siswa yang reguler, sehingga diharapkan tidak ada rasa minder dalam diri mereka.
Dari sebanyak 623 sekolah penyelenggara layanan pendidikan inklusi tersebut, rinciannya jenjang TK/PAUD sebanyak 33 lembaga, jenjang SD 540 sekolah, SMP 47 sekolah dan jenjang SMA sebanyak 3 sekolah.
Kemudian pada tahun 2018, jumlah sekolah yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusi sebanyak 621 sekolah. Rinciannya jenjang TK/PAUD sebanyak 33 lembaga, SD 540 sekolah, SMP 45 sekolah dan jenjang SMA sebanyak 3 sekolah.
Tahun 2017, jumlah sekolah penyelenggara layanan pendidikan inklusi sebanyak 577 sekolah dengan rincian jenjang TK/PAUD 31 lembaga, SD 501 sekolah, SMP 42 sekolah dan jenjang SMA sebanyak 3 sekolah.
Berikutnya tahun 2016, jumlah penyelenggara layanan inklusi sebanyak 290 sekolah dengan rincian jenjang TK/PAUD sebanyak 27 lembaga, SD 231 sekolah, SMP 29 sekolah dan jenjang SMA sebanyak 3 sekolah.
Pada tahun 2015, tercatat ada sebanyak 70 sekolah penyelenggara layanan pendidikan inklusi. Adapun rinciannya jenjang SD sebanyak 60 sekolah, SMP 9 sekolah dan jenjang SMA sebanyak 1 sekolah.
Tahun 2014, jumlah sekolah penyelenggara layanan inklusi tercatat sebanyak 15 sekolah dengan rincian jenjang SD sebanyak 10 sekolah dan SMP 5 sekolah.
Sedangkan tahun 2013, jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi sebanyak 4 sekolah. Rinciannya jenjang Sd sebanyak 3 sekolah dan SMP 1 sekolah.(H48-)