TIDAK pernah dibayangkan sebelumnya oleh Michele Yemima (21) warga Perumahan Palem Estate, Kelurahan Penambongan, Purbalingga. Niatnya mengunjungi teman-teman di Wuhan, malah membuatnya terjebak selama 13 hari di kota itu.
Michele mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Tiongkok untuk belajar di Jilin International Studies University di Kota Changchun Provinsi Jilin. Pada liburan Januari lalu, anak gadis kedua dari tiga bersaudara pasangan Agus Slamet Budijanto dan Anna Laurie Ngantung itu memanfaatkan waktu liburan untuk berkeliling ke beberapa kota di wilayah Selatan Tiongkok.
“Saya bermain ke kota-kota yang udaranya lebih hangat. Saya berangkat keliling mulai 14 Januari,” katanya di rumahnya, Selasa (18/2).
Hingga pada 20 Januari, dia sampai di Wuhan untuk mengunjungi kawan-kawan dari Indonesia. Di Ibu Kota Wehei itu, dia menginap di asrama mahasiswa dan diaspora Indonesia.
Sehari di kota itu, Michele dihubungi teman dari Changchun supaya segera meninggalkan Wuhan, karena di situ tengah merebak virus Corona. Saat itu pula dia memesan tiket pesawat dan mendapat untuk penerbangan 24 Januari. Sayangnya, sehari sebelum penerbangan, pemerintah Tiongkok malah menutup kota Wuhan.
“Sejak 23 Januari, tidak ada yang diperbolehkan keluar masuk Wuhan. Saya pun ikut terjebak di kota itu,” katanya.
Michele bersama kawan-kawan dan diaspora Indonesia harus tertahan di asrama. Soal logistik, mereka pun saling bantu. Para lelaki bertugas belanja dan mencari kebutuhan hidup, para perempuan yang memasaknya.
Logistik Menipis
Kepanikan sempat terjadi karena persediaan makanan menipis. Sedangkan di luar, toko-toko sebagian besar tutup karena bertepatan libur Imlek dan musim dingin.
“Kalau Imlek toko-toko tutup. Warga situ juga banyak yang keluar kota. Belum lagi adanya virus Corona yang merebak,” imbuhnya.
Tak kehilangan akal, logistik mereka kumpulkan. Yang uangnya berlebih membantu yang kehabisan uang atau uangnya menipis. Ditambah bantuan dari KBRI di Beijing tiap minggu sebesar 285,5 Yuan atau senilai Rp 560 ribu per orang.
“Uang itu dikumpulkan dan dipakai buat memenuhi kebutuhan. Selama terkurung di asrama, memasak makanan Indonesia. Sayuran bisa dibeli di pasar,” katanya.
Selama di Wuhan, mereka tetap terhubung dengan keluarga dan kerabat di Indonesia. Michele terus mengabarkan kondisi termutakhir kepada orang tuanya di Purbalingga.
“Selama 13 hari, saya bersama teman-teman rasanya sangat mencekam. Kami selalu meminta doa restu kepada orang tua kami agar selamat dan diberi ketabahan,” katanya.
Harapan terpancar saat Pemerintah Indonesia mengirim tim untuk menjemput WNI dari seluruh pelosok Provinsi Hubei pada 2 Februari lalu. Michele menjadi salah satu diaspora Indonesia yang ikut dievakuasi dan menjalani observasi di Pulau Natuna.
Setelah diobservasi di Natuna, dia dan yang lainnya dinyatakan bebas virus Corona. Dia diterbangkan ke Yogyakarta dan dijemput orang tua dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Purbalingga. Kini ia merasa bahagia bisa berkumpul dengan kedua orang tuanya. (Ryan Rachman-52)