SuaraBanyumas– Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat, dicanangkan sebagai Kota Multikultural. Pencanangan diusulkan oleh Badan Moderasi Beragama Kementerian Agama Republik Indonesia karena Kota Cirebon memiliki keragaman agama, budaya dan ras yang tinggi.
Sebagai bagian dari proses pengusulan, Kemenag Republik Indonesia, Kemenag Kota Cirebon dan Yayasan Oemah Satu Bangsa menggelar Workshop Pencanangan Cirebon sebagai Kota Multikultural.
Hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Sub Bagian (Kasubag) TU Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kemenag RI, Fahrudin.
Narasumber Workshop Pencanangan Cirebon sebagai Kota Multikultural yaitu Akademisi IAIN Syekh Nurjati Cirebon Tendi, Filolog Muda Cirebon Nurhata, serta Pakar Sejarah Cirebon RA Bambang Nurianto dan Eva Nur Arovah.
Kegiatan diikuti oleh belasan para tokoh lintas agama Hindu, Budha, Kristen, Katholik, hingga Islam dan berbagai unsur SKPD Kota Cirebon. Selain itu hadir pula puluhan pelajar dan mahasiswa Kota Cirebon.
Kasubag Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan RI Fahrudin menyambut baik pencanangan Kota Cirebon sebagai Kota Multikultural.
Ia berharap melalui kegiatan ini, Kota Cirebon dapat jadi percontohan sebagai Kota Multikultural.
Sehingga kemajemukan yang ada di Cirebon dan kerukunan umat beragama didalamnya bisa dijadikan rujukan untuk daerah lainnya di Indonesia.
Menurutnya, aneka ragam kepercayaan dan perbedaan agama hendaknya dapat memberikan nuansa keharmonisan dalam menjalankan kehidupan masyarakat.
Jangan sampai perbedaan tersebut menjadi kendala atau menimbulkan permasalahan dalam membina kerukunan umat beragama.
Ia mengatakan, salah satu cara yang perlu dilakukan dalam rangka mewaspadai dan mencegah konflik adalah dengan membangun kesadaran untuk selalu bersikap waspada serta menjaga saling pengertian antara pemeluk agama dan tetap menjaga persatuan sebagai satu bangsa dan tanah air.
“Dengan begitu, tentunya kehidupan bermasyarakat dapat tetap aman dan nyaman,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Kemenag Kota Cirebon Rizky Riyadi Taufiq berharap kegiatan ini dan menghasilkan gagasan dan landasan teori berkaitan titik nol multikultural di Nusantara. Sehingga Kota Cirebon layak dan sah menjadi Kota Multikultural.
Ia pun mengaku dalam waktu dekat, Kemenag Kota Cirebon bersama Forum Lintas Agama dan Instansi terkait akan menggelar pencanangnan dan Deklarasi Bersama Cirebon sebagai Kota Multikultural.
“Kita bisa bersama-sama membuat sejarah baru berkaitan klaim kembali Cirebon sebagai kota Multikultural. Harapannya Kota kecil ini bisa dijadikan pilot project bagi harmonisasi, kerukunan beragama, dan kemajemukan masyarakat,” ungkapnya.
Sementara itu Dr. Eva, salah satu narasumber memaparkan bahwa sangat mengapresiasi terkait gagasan Cirebon sebagai Kota Multikultural tersebut.
Multikultural sudah ada sejak peradaban Pra Islam. Hal itu ditandai dengan banyaknya etnis di tinggal di Cirebon.
“Pada tahun 1448 Masehi, komposisi penduduk Cirebon sudah sangat beragam. Mulai dari Sunda sebanyak 197, Jawa 106, Swarnabhumi 16, Arab 11, Cina 6, Ujung Mendini 4, India 2, Siam 2, dan Parsi 2″ ujarnya mengutip dari buku Pangeran Wangsakerta, Pustaka Negara Kartabhumi Parwa 1 Sargah 3,” ungkapnya.
Adapun N Nurhata menyampaikan bahwa masyarakat multikultural Cirebon sudah menanamkan toleransi bagi para pendatang.
Diantara Contohnya yaitu Penyambutan Ke Gedheng Jumajan jati kepada Syekh Nurjati, penyambutan Prabu Siliwangi terhadap Syekh Quro, hingga Syekh Quro mengizinkan Prabu Siliwangi menikahi santrinya Subang Larang.
Sementara itu, Eva Nur Arovah menambahkan bahwa pergumulan antar budaya memberikan peluang konflik manakala tidak terjadi memahami dan menghormati satu sama lain.
Untuk meminimalisasi konflik inilah, lanjut Eva, diperlukan upaya kesadaran multikulturalisme dalam rangka pemberdayaan masyarakat heterogen agar dapat terbentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.
“Puncaknya, hidup damai dengan sesama dapat terwujud secara nyata,” ungkapnya.
Eva mengatakan, banyak pihak yang perlu terlibat dalam upaya membangun kesadaran multikulturalisme. Salah satunya instansi yang menaungi lembaga pendidikan.
Langkahnya, perlu ada pembelajaran Sejarah Indonesia dengan sasaran utama generasi muda yang sedang menempuh jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Menambahkan yang disampaikan para pakar tersebut, Dr. H. Bambang selaku budayawan dan keluarga Kraton, inisiasi Cirebon sebagai Kota Multikultural tersebut suatu hal yang harus diwujudkan.
Berdasarkan fakta sejarah dan naskah-naskah yang ada, tidak diragukan lagi bahwa Cirebon sejak lahir hingga kini sudah menjadi Kota yang majemuk dan tidak gagap dengan perbedaan, atas dasar tersebut maka generasi sekarang inilah yang harus mampu menghidupkan kembali dan mewujudkannya.