Dr. Ir. Indra Permana Jati, ST., MT., Dosen Teknik Geologi Unsoed
BREBES – Suarabanyumas.com – Bencana tanah longsor kembali terjadi di wilayah Kabupaten Brebes, tepatnya di Desa Krajan dan Desa Mendala, Kecamatan Sirampog. Kejadian yang berlangsung cepat ini menyebabkan kerusakan pada lebih dari 100 rumah dan memaksa lebih dari 300 warga mengungsi. Menurut ahli geologi dari Universitas Jenderal Soedirman, kejadian ini bukan hanya bencana biasa, tapi merupakan peringatan serius akan kondisi geologi yang rentan.
Penyebab Teknis Longsor: Kombinasi Batuan Tua dan Pelapukan
Dr. Ir. Indra Permana Jati, ST., MT., Dosen Teknik Geologi Unsoed sekaligus anggota IAGI, IABI dan MGTI, menjelaskan bahwa longsor terjadi akibat kondisi batuan penyusun wilayah yang telah berumur sangat tua dan mengalami pelapukan intensif. Lokasi longsor berada di atas Formasi Lawak dan Formasi Rambatan yang tersusun atas napal kehijauan, sisipan tipis batu gamping, serta pasir gampingan — batuan sedimen yang terbentuk sejak zaman Tersier Miosen, sekitar 23 juta hingga 5 juta tahun lalu.
“Jenis batuan ini mudah melapuk dan membentuk lapisan tanah dengan daya ikat rendah. Apalagi bila terpapar air dalam waktu lama, maka risiko longsor meningkat signifikan,” terang Indra. Ia juga mengamati adanya perlapisan batuan yang memicu bidang gelincir — permukaan licin di dalam tanah yang menjadi jalur longsoran — berada di kedalaman antara 5 hingga 20 meter.
Topografi dan Air: Faktor Pemicu Gerakan Tanah
Analisis geologi awal menunjukkan bahwa pemukiman warga berada di lereng dengan topografi miring dan mengarah langsung ke Sungai Pedes. Dengan sudut kemiringan mencapai 60 derajat, massa tanah yang jenuh air dengan cepat bergeser ke arah barat daya. Gerakan ini terdeteksi mencapai kecepatan sedang, antara 1,5 meter per hari hingga per bulan, cukup untuk menimbulkan kerusakan besar dalam waktu singkat.
“Pola retakan di bagian atas longsoran (mahkota) juga lurus, mengindikasikan perlapisan batuan horizontal yang mempercepat pergerakan tanah,” imbuh Indra.
Dampak dan Ancaman: Tidak Bisa Diabaikan
Kerusakan struktural pada lebih dari 100 rumah menunjukkan bahwa longsor tidak hanya melanda area terbuka, tetapi juga menyasar zona padat penduduk. Bila longsor terjadi pada malam hari, potensi korban jiwa bisa lebih besar. Selain itu, kondisi retakan yang sudah terbentuk memungkinkan air hujan meresap dan memperparah kondisi tanah, memicu longsoran susulan.
Indra menambahkan bahwa karakter tanah di wilayah ini — dominan pasir hasil pelapukan batuan gamping — memiliki kohesi rendah, sehingga mudah bergerak dan tidak mampu menahan beban bangunan di atasnya.
Rekomendasi Teknis: Relokasi dan Rehabilitasi
Melihat hasil observasi awal dari citra satelit, topografi, dan jenis batuan, Indra menyarankan relokasi sebagai solusi utama. Wilayah yang telah mengalami longsor cenderung berubah menjadi bentang alam tidak stabil (hummocky) dan sulit dipulihkan menjadi kawasan permukiman yang aman.
“Relokasi ke daerah dengan bentang alam datar sangat direkomendasikan. Harus melalui investigasi geologi terlebih dahulu agar tidak mengulang kesalahan yang sama,” jelasnya.
Selain itu, penanaman vegetasi dengan akar dalam dan kuat dapat dilakukan di area bekas longsor untuk mengurangi risiko erosi dan stabilisasi lereng. Namun upaya ini hanya relevan jika retakan tanah tidak berkembang dan tidak ada pergerakan tanah lanjutan.
Langkah Lanjut: Investigasi dan Edukasi Warga
Indra juga menekankan pentingnya keterlibatan tim geologi untuk pengukuran langsung di lapangan, termasuk penentuan bidang gelincir, kedalaman lapisan batuan, dan struktur perlapisan. Edukasi terhadap masyarakat juga krusial, terutama dalam mengenali tanda-tanda awal longsor seperti munculnya retakan di tanah, pohon miring, atau aliran air keruh yang tidak biasa.
“Kita harus beralih dari reaktif menjadi preventif dalam penanganan bencana geologi,” pungkas Indra.