KURBAN (qurbaan) berasal dari kata qaruba, yang berarti dekat, yakni sesuatu yang dipersembahkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ajaran dan atau praktik kurban telah dilakukan manusia sejak masa Nabi Adam dengan peristiwa kedua putranya, Qabil (yang berkurban dengan hasil pertaniannya) dan Habil (yang berkurban dari hasil peternakannya).(al-Maidah/6:27).
Kemudian, kurban terus disyariatkan oleh Allah pada generasi-generasi (nabi-nabi) berikutnya (al-Hajj/22:34), seperti Nabi Idris, Nabi Nuh, dan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Akan tetapi, yang sangat populer di kalangan umat Islam adalah kurban yang dilaksanakan Nabi Ibrahim atas perintah Allah melalui mimpinya untuk mengurbankan Nabi Ismail, putra kesayangannya, walaupun kemudian digantikan dengan seekor domba besar dan tanpa cacat. Komitmen kedua Nabi tersebut untuk melaksanakan perintah kurban sebagai bentuk ketaatan dan penyerahan diri secara total dan sempurna terhadap Allah, Penciptanya (ash-Shaffaat/37:100-107).
Dalam sejarah dikenal bahwa manusia pernah dijadikan kurban untuk dipersembahkan kepada tuhan-tuhan atau dewa-dewa sesembahnya. Hal ini di antaranya terjadi di Irak, sekitar Kan’an, dengan mengorbankan bayi, di Mesir dengan mempersembahkan gadis cantik, di Meksiko mengurbankan jantung dan darah manusia, dan bahkan di Viking dengan mempersembahkan pemuka agama.
Dalam hal inilah ajaran kurban Nabi Ibrahim dapat dipahami sebagai koreksi atas tradisi yang dijalankan oleh sebagian masyarakat di berbagai belahan dunia. Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah memberi tuntunan melalui Nabi Ibrahim untuk berkurban dengan menyembelih hewan bukan manusia, karena jiwa manusia sangat berharga sehingga harus dilindungi. Dalam ajaran Islam, memelihara jiwa (hifdhun-nafs) menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya (al-Mustashfaa) merupakan bagian dari al-kulliyyat al-khamsah (lima perinsip), yang kemudian dikembangkan dan dipopulerkan oleh asy-Syathbi dengan maqaashid asy-syarii’ah (tujuan disyariatnya agama).
Kisah Monomental
Kisah monomental kurban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang diabadikan Al-Qur’an ini kemudian dilanjutkan dalam syariah Nabi Muhammad Saw dengan penyembelihan hewan kurban pada ‘Idul-Adlha dan tiga hari tasyriq berikutnya (11-13 Dzulhijjah).
Nabi Muhammad Saw melaksanakan kurban setiap tahun, baik ketika beliau muqim maupun dalam safar (bepergian), dan bahkan pada haji Wada’ Nabi membawa 100 ekor unta untuk disembelih pada hari-hari kurban. Kurban merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah sebagaimana yang disampaikan dalam satu riwayat bahwa anak cucu Adam yang melaksanakan ibadah kurban di Idul-Adlha, akan mendapatkan cinta-Nya dan nanti akan berjumpa dengan hewan kurbannya di hari kiamat (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalam riwayat Abu Hurairah R.a disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “barangsiapa yang mendapatkan kelapangan, tetapi ia tidak berkurban, maka sungguh janganlah ia menghampiri tempat shalat kami (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah)
Kini, kurban telah dan akan terus dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada saat tiba ‘Iduladha dan atau hari tasyriq. Kadangkala amal-amal baik yang dilakukan secara rutin dapat melupkan ruhnya sehingga perlu diingat kembali. Demikian pula dengan kurban yang sejatinya mempunyai makna spiritual dan sosial sekaligus.
Bentuk Syukur
Makna tersebut antara lain: 1. Kurban sebagai bentuk syukur terhadap segala ni’mat yang sangat banyak yang telah dianugrahkan oleh Allah; 2. Kurban dapat meneladani keihklasan yang sempurna dari Nabi Ibrahim untuk mengurbankan anak yang sangat dicintainya dan keihlasan yang sempurna dari Nabi Ismail untuk mengorbankan nyawanya yang sangat berharga; 3. Kurban dengan hewan, bukan fisik manusia, kata al-Ghazali dalam kitabnya (Ihyaa’ Ulumuddiin) mengisyarakatkan bahwa yang dikurbankan adalah sifat-sifat kebinatangan yang tercela yang ada pada diri manusia, seperti kikir, rakus, dengki, dan menindas.
4. Kurban untuk menjalin kasih sayang antar sesama; 5. Kurban dapat menumbuhkan solidaritas sosial terutama bagi kalangan yang membutuhkan, apalagi pada masa covid-19 ini, di mana kemiskinan di berbagai belahan dunia meningkat drastis; dan 6. Kurban dapat menjadikan Iduladha (sebagai hari pesta makan-makan) yang dapat dinikmati oleh seluruh manusia baik yang kaya maupun yang kekurangan dengan riang gembira seraya mengingat Allah.
Semoga dengan berkurban, umat Islam dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan solidaritas sosial. Wallaahu a’lam bish-shawaab. Selamat merayakan dan ‘Iduladha 1441 H. (K17)