ERA new normal yang sedang berlangsung saat ini merupakan era adaptasi kehidupan baru akibat dari adanya wabah pandemic covid-19. Pada era ini, aktivitas ekonomi dan aktivitas kehidupan lainnya didorong untuk dilaksanakan seperti era normal, tetapi tetap mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Mengapa era new normal ini perlu dilakukan? Alasan mendasarnya karena wabah pandemi covid-19 yang telah berlangsung sejak awal tahun 2020 hingga sekarang belum menunjukkan titik akhirnya, sementara kehidupan masyarakat semakin sulit dan cemas akibat dampak covid-19.
Meski terjadi pro dan kontra terhadap kebijakan new normal ini, hal terpenting bagi masyarakat adalah terus bergerak dan beraktivitas dengan merubah mindset dan pola perilaku untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Dengan beradaptasi akan lahir gagasan, kreativitas, dan produk-produk baru yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Manusia bisa belajar dari kehidupan burung yang tidak mengenal lelah dan bosan untuk terus bergerak. Ketika di satu wilayah sudah tidak ada makanan, dia terus terbang dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan bisa melampaui antar pulau dan benua. Prinsipnya, makanan harus didapat untuk menghidupi diri dan anggota keluarganya. Tuhan pun memberikan kabar gembira bagi orang yang terus menerus bergerak mencari kehidupan bahwa “sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan-kemudahan” (QS. Al-insyiroh: 5-6).
Wabah pandemic covid-19 telah menimbulkan dampak yang luar biasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Ada lebih dari 2,1 juta orang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan, baik pada pekerja formal maupun informal. Kondisi ini membawa dampak ikutan berupa tingkat kemiskinan dan kerentanan sosial.
Angka kemiskinan di Indonesia melonjak dari 9,41 persen menjadi 9,78 persen dari total penduduk Indonesia. Selain itu, dampak psikologis dan kesehatan juga tidak kalah pentingnya. Banyaknya pemberitaan seputar penyakit covid-19 bisa memicu rasa gelisah dan khawatir yang berlebihan. Perasaan itu pada akhirnya bisa membuat masyarakat mengalami stress dan gangguan mental yang berujung pada memburuknya kondisi kesehatan masyarakat.
Situasi ini belum mengalami perubahan yang signifikan pada era new normal. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada era ini sebesar 0 persen dan bahkan oleh Bank Dunia dinyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus sebesar 3, 5 persen. Demikian halnya dengan sektor lainnya yang mengalami pergerakan amat lamban.
Untuk itulah diperlukan daya dorong atau pemicu yang dapat membangkitkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan perannya pada era new normal ini. Agama yang bersumber dari Tuhan dan diyakini sebagai sumber perilaku manusia, dianggap mampu menjadi pemicu perubahan masyarakat di era new normal.. Agama menurut Gus dur dapat berfungsi sebagai inspirasi dalam segala kehidupan berbangsa dan bernegara (Kompas, Oktober 2006). Piranti utama agama, dalam konteks ini Islam, yang dapat dijadikan pintu masuk untuk adanya perubahan pada masyarakat adalah dakwah. Al-Qur;an memperkenalkan konsep dakwah dalam dua dimensi besar yakni dakwah bil-qawl atau dimensi kerisalahan (QS. 5: 67) dan dakwah bil’amal atau dimensi kerahmatan (QS. 21: 107).
Perubahan Rekayasa Dakwah
Pada saat terjadi wabah pandemic covid-19, kegiatan dakwah bil-qawl telah mengalami perubahan dari kegiatan dakwah secara langsung atau luring berkembang menjadi kegiatan dakwah yang berbasis online atau daring. Youtube, zoom, google meet, whatsapp, Instagram, telegram, dan media baru lainnya banyak dimanfaatkan oleh para da’i untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Banyak manfaat dan kelebihan yang didapat dari kegiatan dakwah yang berbasis online. Apalagi dalam kondisi wabah pandemic covid-19 ini dimana terjadi social and physical distancing, kehadiran dakwah online menjadi alternatif dalam memberikan penjelasan dan pemahaman ajaran agama. Jangkauan yang luas, mudah disimpan, dapat diputar ulang, bisa dilihat atau didengar dalam kondisi apapun, dan bisa pilih da’i yang paling disukai. Itulah beberapa diantara kelebihan yang dimiliki oleh kegiatan dakwah melalui media online.
Namun, pada era new normal ini, kegiatan dakwah tidak hanya menyentuh pada ranah kognitif semata, perlu ada penguatan pada ranah afektif dan psikomotorik. Masyarakat butuh pekerjaan, keterampilan, makanan, minuman, pengobatan, dan kebutuhan mendasar lainnya. Untuk itulah dakwah bil-‘amal perlu diperkuat dan diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dakwah bil-‘amal, menurut Taufik al-Wa’i (1995), dapat diwujudkan dalam dua paradigma , yakni al-tandzim al-da’wa (manajemen dakwah) dan al-tathwir al-da’wa (rekayasa dakwah). Dalam arti yang lebih sederhana, dakwah bil-‘amal adalah dakwah yang dilakukan oleh individu atau lembaga untuk mengelola dakwah dan merekayasa masyarakat dengan tindakan-tindakan nyata agar menjadi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang beriman dan berkualitas (khair ummah).
Urgensi dakwah bil-‘amal perlu diperkuat dan dikembangkan pada era new normal: Pertama, ajaran islam sangat peduli terhadap penghapusan kemiskinan atau kesulitan-kesulitan masyarakat. Di awal dakwahnya Nabi Muhammad banyak mendapatkan wahyu atau pesan-pesan keagamaan yang menentang adanya keserakahan, menumpuk-numpuk harta, tidak peduli kepada orang miskin dan anak yatim, orang yang bakhil dan tidak berbuat baik kepada orang lain. Selain itu, ajaran Islam juga memberikan balasan yang tinggi kepada orang yang suka berzakat, bersedeqah, berinfak dan membantu meringankan kesulitan-kesulitan kerabat dan atau orang lain.
Kedua, Allah membenci orang yang bisa berkata tetapi tidak bisa melakukan (QS. 61:2-3). Inilah karakteristik dan kekuatan dakwah, seorang da’i bukan hanya pandai dalam bersilat lidah, merayu, dan berargumentasi dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah, tetapi keteladanan da’i dalam menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih penting keberadaannya. Sekecil apapun perbuatan nyata jauh lebih bermakna daripada seribu kata-kata indah. Dalam satu kisah ketika Nabi melakukan perjalanan isra mi’roj, beliau melihat ada orang yang suka menggunting lidahnya dengan api neraka. Kemudian beliau bertanya kepada malaikat, siapa orang tersebut? Malaikat menjawab bahwa orang tersebut adalah umatmu yang menjadi juru dakwah, dia menganjurkan orang lain melakukan kebaikan tetapi dia melupakan dirinya atau tidak melaksanakan kebaikan tersebut.
Ketiga, dakwah dilakukan sesuai dengan bahasa kaumnya dan menyesuaikan dengan kebutuhan dari kaum tersebut. Pada era new normal ini, kebutuhan masyarakat adlah adanya lapangan pekerjaan, makanan, minuman, pengobatan, ketrampilan, dan rasa nyaman. Rasanya miris dan sedih mendengar berita ada seorang ibu rumah tangga (43 tahun) di Serang Banten meninggal dunia karena kelaparan dan hanya minum air gallon saja (20/4/2020) dan ada seorang nenek di Magetan ang menjual sendok kepada tetangganya untuk mendapatkan sesuap nasi. Padahal kedua orang tersebut tingal di wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim dan Islam merupakan agama yang sangat peduli kepada kemiskinan. Hal ini menunjukkan satu fenomena atau gambaran bahwa dakwah bil-‘amal belum optimal dilaksanakan di masyarakat Indonesia.
Agar pelaksanaan dakwah bil-‘amal lebih maksimal diperlukan adanya perubahan orientasi pemahaman dari dakwah yang bersifat teologis menuju dakwah yang bersifat sosiologis-praxis. Dakwah tidak berkutat pada urusan-urusan kesalehan individu saja, melainkan terlibat dalam memperkuat kesalehan sosial. Di samping itu, lembaga atau organisasi dakwah, lembaga filantropi Islam, dan para aktivis dakwah perlu melakukan pemetaan kantong-kantong kemiskinan atau keterpurukan akibat dampak covid-19 dan secara bersinergi melakukan pemberdayaan dan advokasi secara langsung.
Wallahu a’lam bish-shwab . (K17-)
Abdul Basit
Guru Besar Ilmu Dakwah dan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto