PURWOKERTO – Lahirnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 15 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan, termasuk pakar hukum tata negara.
Prof. Dr. Riris Ardhanariswari, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, menyoroti dampak yang mungkin timbul dari kebijakan ini terhadap berbagai sektor pembangunan di Indonesia. Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak merugikan masyarakat luas.
“Sejak awal pembentukan kabinet, seharusnya sudah dipertimbangkan secara matang terkait efektivitas kinerjanya, bukan malah membentuk kabinet dengan jumlah menteri yang begitu banyak, ditambah lagi dengan keberadaan beberapa wakil menteri dalam satu kementerian. Hal ini tentu berdampak pada penggunaan anggaran negara,” ujar Prof. Riris.
Ia juga mengingatkan bahwa pemotongan anggaran di hampir semua kementerian berpotensi memberikan dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah program Makan Bergizi Gratis yang dicanangkan pemerintah.
“Jika keuangan negara tidak memungkinkan, maka kebijakan ini sebaiknya tidak dipaksakan. Kita juga perlu memastikan apakah program ini benar-benar tepat sasaran, karena ada kemungkinan beberapa sekolah tidak membutuhkan program tersebut,” jelasnya.
Dampak dari pengurangan anggaran juga dirasakan oleh dunia pendidikan. Menurut Prof. Riris, jika dana untuk pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dikurangi, maka pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi akan terganggu. Padahal, perguruan tinggi dituntut untuk terus meningkatkan kinerja akademiknya.
Selain itu, ia juga mengingatkan agar kebijakan efisiensi anggaran tidak sampai menghambat kinerja lembaga negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
“Kalau semua lembaga negara tidak dapat menjalankan tugasnya akibat pemotongan anggaran, maka organisasi negara ini akan ‘mati suri’. Ini akan menjadi ironi besar dalam sistem pemerintahan kita,” tambahnya.
Lebih lanjut, Prof. Riris menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan kesejahteraan rakyat dengan mengabaikan sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Menurutnya, anggaran yang berdampak langsung pada masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam pengelolaan keuangan negara.
“Prinsipnya, kebijakan efisiensi anggaran ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemerintah harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat. Pertanyaan yang sebenarnya adalah, apakah kondisi APBN kita sedang tidak baik-baik saja?” pungkasnya.
Kebijakan efisiensi anggaran ini masih menjadi perdebatan, terutama terkait bagaimana penerapannya di berbagai sektor. Diharapkan, pemerintah dapat mengelola kebijakan ini dengan bijak agar tidak menghambat pembangunan serta kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Diskusi tentang artikel