PURWOKERTO – Mendidik anak dengan cara menasehati, menegur bahkan memarahi, kini sudah tidak sesuai diterapkan di era milenial ini.
Karena anak-anak yang lahir dan dibesarkan di era tersebut, peran teknologi dianggap sebagian besar sudah menggantikan peran orang tua. Mereka berkencederungan diam dan mencurahkan segala hal lewat teknologi, khususnya sosial media.
“Menghadapi kondisi ini, sebaiknya orang tua mulai membangun dialog. Kalau selama ini parentingnya monolog seperti menasehati, membenarkan, bahkan menegur, ini harus diubah. Mulailah dengan membangun dialog,” ungkap Coach Henry Krisjgman dari Jakarta, saat mengisi materi di Seminar Parenting Berbicara Tanpa Cela, di Gedung Yustisia FH Unsoed, Sabtu (29/2).
Seminar yang diselenggarakan Komite SD Al Irsyad Al Islamiyah 2 Purwokerto, diikuti sekitar 400 peserta dari orang tua atau wali murib serta masyarakat umum. Seminar dibuka Kepala Dinas Pendidikan Pemkab Banyumas, Irawati.
Henry menjelaskan, cara membangun dialog, pertama adalah mulai menyimak atau menengarkan ketika anak berbicara. Orang tua jangan terburu-buru menginstruksi. Karena, kata dia, kadang pesan anak tidak selesai disampaikan atau diungkapkan, karena orang tua terburu-buru memotong ingin menasehati.
“Cara seperti itu justru menjebak orang tua pada asumsinya sendiri.Padahal kalau orang tua lebih sabar sebentar untuk menyimak saja, itu anak-anak akan memberikan semua data yang dibutuhkan orang tuanya,” katanya.
Di era milenial ini, kata dia, anak-anak membutuhkan apresiasi dalam bentuk memuji identitasnya. Ketika orang tua mau menegur atau marah, saran dia, yang ditegur adalah perilakunya, bukan identitasnya.
Jangan sampai terbalik membedakan antara perilaku anak dan identitas anak. Kalau itu terjadi, maka, di dalam diri anak tidak terbangun fondasi kuat, karena dunia sosial media ibarat seperti samudera luas yang bisa menghayutkan dan menjerumuskan.
“Meski anak-anak milineal lebih cenderung familier dengan teknologi, namun masih ada peran orang tua yang tidak bisa digantikan teknologi. Yakni, orang tua harus selalu hadir dan mau mendengarkan,” pesannya.
Dia mengatakan, peran orang tua di era milineal ini tidak cukup asal bijaksana dan bisa menegur. Peran orang tua saat anak usia 0-7 tahun, katanya, harus bisa menjadi pemandu atau gaet, Usia 7-14 tahun, orang tua harus bisa menjadi roll model atau panutan.
Kemudian, pada usia 14-21 tahun saat fase anak mulai mengenal lawan jenis atau masa orientasi seksual, maka orang tua harus hadir sebagai konsultan remaja. Pada usia ini, informasi yang digali anak lebih luas, bahkan orang tua kadang kalah dalam menggali informasi oleh anak.
“Untuk usia 21-28 tahun, masa saat anak-anak mulai mengejar ambisinya. Kalau fase 14-21 tahun itu bocor atau anak-anak terjebak dalam dunia yang menyimpang, maka akan kehabisan energi untuk mengejar ambisinya. Jadi pada ussia 21-28 tahun ini, orang tua harus bisa menjadi sponsor,” katanya.
Ketua Komite SD Al Irsyad 2 Purwokerto, Awal Iing Mulyadi mengatakan, tujuan kegiatan ini untuk ajang silaturahmi orang tua siswa, sinergitas komite dengan pihak sekolah, sekaligus memberikan pengethuan dan pemahaman kepada para orang dalam mendidik anak jangan sampai melukai hatinya.
“Kalau anak sampai terlukai, maka akan teringat sampai usia dewasa. Akibatnya orientasi anak makin tidak jelas. Dengan diberikan materi oleh nara sumber, supaya bisa menumbuhkembangkan menjadi anak yang beraklak mulia, cerdas dan taat kepada orang tua maupun guru-gurunya,” katanya.
Kepala Dinas Penidikan Banyumas, Irawati mengatakan, kegiatan parenting ini akan dikembangkan di lingkungan dinasnya, juga untuk sekolah-sekolah negeri.
“Kita akan adopsi untuk dikembangkan di lingkungan sekolah yang lain, terutama sekolah-sekolah negeri. Kenakalan remaja yang cukup tinggi, kadang karena kurang adanya perhatian orang tua,” kata dia. (G22-20)