ZIARAH wali tanah Jawi di Kabupaten Banyumas belumlah lengkap jika belum berziarah ke Makam Keramat Wali Syaikh ‘Abdush Shomad, Jombor, Cipete Kecamatan Cilongok. Untuk menuju ke perbukitan makam cicit Sunan Gunung Jati Cirebon ini, peziarah harus naik menapaki jalan berundak hingga berjumlah 99. Kanan kiri jalan menuju kompleks makam wali dan keturunannya ini masih terdapat banyak pohon nagasari raksasa berumur ratusan tahun.
Makam ini setiap waktu selalu ramai diziarahi para peziarah dari Jawa hingga luar Jawa. Berasal dari keluarga Kraton Cirebon, Syaikh ‘Abdush Shomad adalah sosok ulama yang hidup sekitar abad ke-16 ini punya garis keturunan dari Pajajaran dan Pasir Luhur.
“Dari jalur ibu, Mbah ‘Abdush Shomad adalah cicit dari Sunan Gunung Jati sehingga silsilahnya tersambung hingga Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Muhammad SAW. Sementara dari garis ayah, ia merupakan keturunan dari Prabu Mundingsari hingga menurun ke Pangeran Senopati Mangkubumi di Pasirluhur,” jelas Miftahudin, Pengurus Yayasan Nuruz Zaman, pengelola kompleks makam keramat dan jejak peninggalan Syaikh ‘Abdush Shomad.
Syaikh ‘Abdush Shomad sendiri juga merupakan eyang buyut dari Syaikh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas, Kedungparuk Mersi yang merupakan guru dari Maulana Habib Luthfi bin Hasyim bin Yahya Pekalongan. Selain Mbah Malik Kedungparuk, Syaikh Abdush Shomad juga menurunkan banyak keturunan yang menjadi obor agama di wilayah Banyumas hingga nusantara, termasuk yang turut serta berperan merebut, mempertahankan hingga mengisi perjuangan NKRI termasuk Mbah Kiai Nuruz Zaman hingga KH Masdar Farid Mas’udi.
“Menurut cerita, Mbah ‘Abdushomad ini datang ke wilayah Jombor ini sudah dalam usia sepuh karena mendapatkan amanat untuk berdakwah dari Sunan Gunung Jati ke wilayah Timur Selatan. Di sinilah kemudian Mbah ‘Abdush Shomad memperisteri dua orang termasuk Nyai Saketi,” kata Miftahudin yang juga keturunan ke-10 Mbah Abdush Shomad ini yang juga penulis buku Jejak Peninggalan Syaikh ‘Abdush Shomad Jombor, Banyumas.
Syaikh ‘Abdush Shomad menetap dan mendirikan pesantren di barat Grumbul Jombor tepatnya di Grumbul Depok, tepatnya lokasi lembah bawah lokasi kompleks Makam Keramat Jombor. Para murid-muridnya datang dari berbagai penjuru Jawa, bahkan hingga beberapa generasi keturunannya masih mengelola pesantren dan santrinya datang hingga luar Jawa.
“Namun di sini memang terbilang lebih mengarah ke pesantren berkah dan hikmah. Biasanya orang yang sudah jauh-jauh mondhok nyantri di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur, gurunya menyarankan untuk ke sini sebelum mukim. Mereka akan tinggal di sini selama tiga, tujuh hingga 40 hari sambil berziarah terlebih dulu,” jelas Miftah yang juga Ketua Bawaslu Banyumas ini.
Tak hanya para santri, para kiai yang berniat akan mendirikan pondok pesantren juga biasanya mendaptkan masukan dan amanat para gurunya untuk sowan dan berziarah terlebih dulu di Makam Keramat Syaikh ‘Abdush Shomad.
“Dulu Kiai Samsul Maarif, sebelum mendirikan pesantren Nurul Huda, Langgongsari, Cilongok ia sempat sowan ke Mbah Mangli Magelang. Namun oleh Mbah Mangli menyuruhnya pulang dan berziarah ke Makam Mbah ‘Abdush Shomad selama beberapa waktu hingga akhirnya ia berhasil mendirikan pesantren,” kata Miftah.
Ahli Dzikir dan Tasawuf
Berkat keilmuannya inilah, Mbah ‘Abdush Shomad terkenal ahli dzikir, tasawuf dan hikmah ini menjadi rujukan rakyat jelata hingga pejabat. Saat bermukim di Jombor inilah, Mbah ‘Abdush Shomad mendirikan tajug dan rumah yang kini menjadi Kompleks Masjid Baitush Shomad dan MI Maarif NU 01 Cipete.
“Jadi di sinilah banyak orang mencari ketenangan hidup. Jaka Kahiman (Bupati Banyumas I) juga sering ke sini hingga akhirnya salah satu anak dari Mbah ‘Abdush Shomad menjadi menantu Jaka Kahiman. Anak keturunan Mbah ‘Abdush Shomad menyebar dan banyak yang menjadi para kiai di Jawa ini,” jelasnya
Makam Mbah ‘Abdush Shomad sendiri sebelum dibangun permanen seperti sekarang ini pernah mendapatkan pemugaran masa Kiai Nur Zaman dengan tanda prasasti kayu bertuliskan 1874 masehi. Tak banyak peninggalan yang tersisa dari Mbah ‘Abdush Shomad, kecuali silsilah keturunan, mata tombak, keris dan amalan tasawuf Sathoriyah, Rotib Saman, tradisi rodat/muda dan lainnya.
“Dulu ada kotak pusaka berisi lontar-lontar, tombak dan keris dan lainnya. Namun karena kurang terawat dan setelah sekian lama, ternyata saat pihak keluarga membuka, sudah habis menjadi bubuk debu. Beruntung ada anak keturunannya yaitu Mbah Kiai Mukhlas yang rajin menulis termasuk silsilah ini,” kata Dasuki, juru kunci makam keramat Syaikh ‘Abdush Shomad.
Jejak-jejak peninggalan ajaran Syaikh ‘Abdush Shomad mendapatkan kelanjutan para keturunannya, Ketib Arum hingga Kiai Nur Zaman. Pada masa kemerdekaan inilah, pesantren Kiai Nur Zaman di Jombor ini sering menjadi tempat singgah para pejuang. Di sinilah para pejuang turut serta mendapatkan, olahkanuragan, olah batin, pencerahan hidup hingga logistik makanan sebelum dan pasca berjuang.
“Kalau Mbah ‘Abdush Shomad itu punya filosofi ‘tapa ngeli’ artinya pasrah, nerima, zuhud, ridlo apa yang jadi ketentuan-Nya. Dari kematangan ilmu tasawufnya itulah, ia menjadi rujukan banyak ulama tanah Jawa ini bahkan hingga anak keturunannya. Disebutkan ketika ada orang punya masalah hidup, ia kemudian datang ke Kiai Nur Zaman, baru sampai di halaman rumah dan pesantrennya ini dia sudah tenang dan tercerahkan,” jelasnya.
Terkait cerita dan kisah karomah dari Mbah ‘Abdush Shomad dan keturunannya memang segudang. Namun demikian dari pihak keluarga menekankan betapa yang perlu diperhatikan juga adalah keteladanan perjuangan Mbah ‘Abdush Shomad dalam mengajarkan Islam yang ramah dan rahmat bagi seluruh alam. (Susanto-)