Purwokerto, suarabanyumas.com – Pakar Hukum Tata Negara UIN Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, M Wildan Humaidi memberikan sorotan perihal fenomena kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024. Ada lebih dari 40 daerah kabupaten/kota, termasuk Kabupaten Banyumas hanya memiliki calon tunggal.
“Pilkada tidak hanya sebagai ajang ritual demokrasi rakyat lima tahunan semata, melainkan harus dipahami sebagai mekanisme konstitusional demokratis dalam menentukan kepala daerah terbaik yang visioner. Sesuai kebutuhan daerah dan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya,” ujarnya.
Dosen Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto itu menjelaskan, konstitusional maknanya, mekanisme penentuan dan penetapan kepala daerah, mulai dari pencalonan hingga penetapan kepala daerah harus dijalankan dengan taat pada peraturan perundang-undangan.
“Masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai subyek pencoblos kertas suara, tetapi harus didudukan sebagai pemegang kedaulatan yang menentukan nasib dan masa depan daerah lima tahun mendatang,” beber dia.
Untuk memilih kepala daerah, proses dan mekanisme yang dijalankan harus demokratis sebagaimana desain yang ditentukan konstitusi Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia. Melalui kontestasi inilah, lanjut dia rakyat disuguhkan dengan dengan berbagai pilihan calon kepala daerah. Dengan itu, rakyat dapat menjalankan haknya dengan memilih kepala daerah terbaiknya.
Sekitar 41 daerah kabupaten/kota, termasuk salah satunya Kabupaten Banyumas, memiliki calon tunggal. Hal ini dipengaruhi berbagai hal, salah satunya konfigurasi politik elektoral di daerah masing-masing. Situasi ini berakibat pada mekanisme Pilkada dengan kotak kosong sebagai bagian konsekuensi kontestasi demokrasi.
“Para kandidat tunggal tersebut harus berhadapan dengan kotak kosong. Kotak kosong harus dipahami sebagai pilihan alternatif yang disediakan dalam mekanisme kontestasi demokrasi. Dan rakyat sebagai pemilih dijamin haknya untuk memilih sesuai dengan pilihan terbaiknya,” beber dia.
Menurut Wildan, baik memilih calon kepada daerah ataupun memilih kotak kosong, keduanya sama-sama bagian dari demokrasi dan dijamin oleh undang-undang. Oleh karena itu, pada situasi ini rakyat harus tepat dan cermat dalam menggunakan haknya.
“Ini harus dipahami sebagai jihad sekaligus “ijtihad politik” rakyat dalam menentukan nasib daerahnya lima tahun ke depan. Rakyat harus menimbang matang-matang dalam menentukan pilihannya, baik maslahat maupun mafsadatnya,” tuturnya.
Karena jika pilihan mayoritas jatuh pada kotak kosong, lanjut dia konsekuensinya, mekanisme Pilkada akan diulang kembali. Hal ini tentu tidak hanya berkonsekuensi pada dimensi politik semata. Jauh dari itu berdampak pada energi penyelenggara, emosi rakyat, dan terkait pendanaan penyelenggaraan.