“Panggil saya kang saja…”.
Begitulah protes yang sering dilontarkan sastrawan besar berperawakan kecil, Ahmad Tohari saat berbagai acara ketika ada yang memanggilnya kiai, atau bapak. Menanggapi itu ada keheranan, gugup, senyum bagi yang baru mengenalnya terutama bagi penata acara ataupun rekan pengisi seminar dan sebagainya.
Hal itupun terjadi saat jelang acara tasyakuran peringatan ulang tahun ke-72 yang diinisiasi sejumlah seniman dan awak Majalah Ancas, Jumat (12/6). Meskipun sudah lama mengenal novelis ini, ada saja kekhilafan terkait persiapan acara tersebut termasuk soal banner yang menjadi latar belakang acara yang dihelat di Gubug Carablaka samping rumah Ahmad Tohari, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas.
“Jam lima sore banner sudah dipasang, tetapi pencetak banner itu menuliskan (kata) “Bapak Ahmad Tohari”. Saya kira tidak apa-apa, ternyata diminta untuk diganti,” kata Siti Rofiqoh, awak redaksi Majalah Ancas, majalah berbahasa Banyumas yang digawangi Ahmad Tohari bersama rekan penulis lainnya.
Meskipun agak bingung karena waktu sudah mepet, akhirnya ia bersama rekannya Wanto Tirta dan Hamidin Krazan putar otak. Bagaimana mengganti banner yang sudah jadi dan dipasang itu? Namun mereka yang sudah lama dekat berinteraksi dengan penulis ini, sadar bahwa betapa pilihan kata, apalagi panggilan ‘Kang’ bagi sang begawan sastra dari Banyumas ini begitu penting.
“Memang sejak kenal beliau, kami memang sudah terbiasa memanggilnya Kang. Karena dengan panggilan Kang meski sering dipandang ‘ndesa’ atau ketinggalan jaman itu justru membuat akrab bagi siapapun,” kata Wanto Tirta, yang dikenal sebagai Presiden Geguritan Banyumas.
Budaya Penginyongan
Diksi panggilan Kang, kata Wanto Tirta tak lain merupakan panggilan akrab warga Banyumas. Pilihan diksi ini menandakan betapa lokalitas dari tlatah Banyumas Raya ini begitu merakyat. Tohari begitu memahami betapa pilihan kata panggilanpun menjadi hal penting bagi kehidupan.
“Panggilan Kang ini juga khas panggilan santri di pondok (pesantren). Makanya sangat egaliter sebagaimana karakter khas budaya Panginyongan. Makanya ketika soal banner pun menjadi perhatiannya,” jelasnya.
Soal peringatan ulang tahun, Ahmad Tohari sebenarnya mengaku tak pernah merayakan ulang tahun. Sebagai warga desa, ibunya, Biyung Saliyem lebih terbiasa membuat bubur ‘abang putih’ ketika weton, hari pasaran Selasa Wage kelahirannya. Bubur abang putih itu dibagikan ke tetangga dan mereka saling mendoakan.
“Jadi lebih khusyuk. Namun kalau tasyakuran ini untuk menjadi momen tumbuhnya literasi maka tak masalah,” kata penulis novel Bekisar Merah ini.
Dan benarlah di ulang tahunnya ke-70 tahun 2018 dan ke-72 tahun 2020 ini, sejumlah penulis, penyair, akademisi, rekan dan lintas profesi memberikan catatan yang dihimpun menjadi buku.
Bagaimana dengan kelanjutan keliru cetak Kang menjadi Bapak itu? Beruntung akhirnya setelah berusaha mencari percetakan, tim inisiator acara tasyakuran tertolong oleh suami Siti Rofiqoh yang akhirnya bisa mencetak kembali banner kecil bertuliskan Kang Ahmad Tohari. Melihat itu, senyumpun mengembang dari sosok sastrawan berperawakan kecil itu.
Perhatian ke Saudara
Maka Sabtu (13/6) pagi, acarapun dimulai. Protokol kesehatanpun diberlakukan ketat, mulai dari jaga jarak tempat duduk, pengadaan thermogun, tempat cuci tangan, hand sanitizerpun disiapkan panitia. Singkat cerita, acara tasyakuran peringatan Ultah Ahmad Tohari inipun berlangsung lancar.
“Mas To, begitu kami panggil biasa panggil ini memang orangnya sederhana. Bahkan ketika menyapapun sepintas seperlunya saja. Kalau kami adik perempuan sedang ngobrol, akan dibilang ngobrol apa lama sekali,” kata Nurlaela, adik bungsu dari Ahmad Tohari.
Meski terkesan terkadang mengesalkan, tapi bukan berarti Ahmad Tohari tak sayang adik. Terbukti ialah orang yang selalu rajin bertanya soal kabar kesehatan dan kondisi adik atau kakaknya yang sudah tinggal berjauhan.
“Ya, yang pertama kali mengajari setir mobil ya dia. Kalau disiplin waktu datang ke acara, jangan tanya. Mas To biasanya akan datang lebih awal,” kata Nurlaela yang kini menjadi dosen di Universitas Jenderal Soedirman itu.
Di suatu acara, sebelum seorang bertanya kenapa senang dipanggil Kang Ahmad Tohari, ia akan menukasnya lebih dulu. “Saya kan, orang desa. Jadi panggil saya kang Ahmad Tohari saja,” katanya singkat disertai senyum khasnya. Ya, begitulah Bapak Kiai Haji Ahmad Tohari. Eh… Kang Ahmad Tohari. (Susanto-2)