Tulisan ini hanya merespon atas gambar caption (ss) yang dicantumkan. Ada beberapa picture caption (ss) yang dipost. Detail gambar caption (ss) tersebut dipost oleh akun @dolantegal dengan tagging @infopurwokerto. Postingan tersebut banyak mendapat atensi komentar dari netizen.
Problem tersebut adalah Parkir! Dapat dikatakan, belum ada solusi konkrit atas persoalan ini. Bisa jadi persoalan ini dianggap problem sederhana yang ada pada tiap daerah Kabupaten/ Kota. Mungkin saja bukan problem besar semacam kemiskinan, kesehatan, infrastruktur dan problem mental spiritual. Namun, mari kita cermati.
Toko modern di Banyumas sudah merambah hingga desa-desa. Ambil sample Perempatan Tanjung ke Selatan arah Rawalo-Cilacap. Toko modern ada di Tanjung, Sidabowa, Kedungrandu, Notog dan seterusnya. Semua bisa ditebak, hampir semua ada tukang parkirnya. Belum lagi, warung/ tempat makan/ resto/ perbelanjaan yang ndilalah kok ada tukang parkirnya. Sebut salah satunya, Es Dawet Durian Bar-Bar di Kedungwringin.
Tarif parkir, secara umum, roda dua Rp. 1.000 dan roda empat Rp. 2.000. Sebagian dari kita akan berdalih, hanya uang kecil, hanya uang seribu, hanya uang duaribu. Bayar seribu untuk parkir saja pelit, medit, dan stigma negatif lainnya. Bagaimanapun, ini menjadi sengkarut problem yang tidak akan ada ujungnya bila didebatkan. Akan tetapi, menjamurnya tukang parkir harus dipandang sebagai problem mental kemanusiaan, alih-alih problem kemiskinan.
Mari kita sejenak berpikir, tentang problem ini. Problem klasik yang nyaris tidak memiliki solusi. Mari kita sedikit mengurai, apakah semua tempat harus ada tukang parkirnya? Apakah wajib ada tukang parkirnya? Pun demikian dengan tempat makan/ resto/ toko perbelanjaan. Apakah wajib ada tukang parkirnya? Mungkin bisa sekalian dibantu menghitung, di wilayah anda, dengan jarak 5-10 kilometer, berapa tempat perbelanjaan yang ada tukang parkirnya?
Saya ambil contoh toko modern Kedungrandu. Secara umum, toko tersebut memiliki tempat parkir lumayan luas. Bagi para pengendara, baik sepeda motor/ mobil tanpa ada tukang parkir saya kira enjoy aja. Saya yakin, bagi para pengendara, tidak dibantu tukang parkir pun bisa dengan mudah menjalankan kendaraan bermotornya ketika keluar dari tempat perbelanjaan.
Contoh lain, Alfamidi Tanjung, tanpa ada tukang parkir, para pengendara, baik motor/ mobil tidak akan serta merta nylonong ketika mau nyebrang jalan/ jalan lurus ke Selatan ketika ramai kendaraan lalu lalang. Pengendara motor/ mobil tentu saja tidak bodoh! Coba bayangkan saja, bila ke tempat perbelanjaan hanya untuk belanja 10.000, biaya parkir 1.000, itu artinya 10℅ dari biaya belanja. Kalau parkir 2.000, itu artinya 20%. Itu kalau belanja. Kalau ternyata tidak jadi belanja?
Tulisan ini amburadul, sulit menentukan titik problem utamanya, akan tetapi, jelas sekali bahwa banyak problem terkait ruwetnya persoalan, panjang diuraikan, perlu kebijakan-kebijakan yang solutif, pemimpin Banyumas ke depan perlu keberanian dalam mengatasi persoalan yang dianggap sederhana ini.
Bagaimana dengan problem-problem lain di Banyumas ini?
*) Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto.