PADA Rabu (3/2) kita dikejutkan oleh berita penangkapan Zaim Saidi terkait dengan aktivitasnya sebagai pemilik Pasar Muamalah di Depok Jawa Barat. Menurut keterangan polisi pasal yang disangkakan adalah pembuatan dan pemberlakuan mata uang dinar dan dirham di dalam transaksi jual beli di tempat tersebut di mana hal ini dianggap melanggar KUHP dan UU No 7/2011 tentang mata uang.
Sebagaimana diberitakan, Pasar Muamalah ala Zaim Saidi memberlakukan mata uang dinar dan dirham dalam transaksinya. Masyarakat yang ingin bertransaksi di sana harus membeli koin dinar dan dirham. 1 dinar pada saat itu senilai dengan Rp. 4.000.000 sedangkan 1 dirham senilai Rp. 73.500. Model transaksi di Pasar Muamalah ini diyakini sesuai dengan praktik muamalah pada zaman Nabi.
Peristiwa ini mengingatkan kembali tentang paradigma penerapan muamalah syar’iyyah di dalam masyarakat modern. Muamalah dalam pengertian sempit adalah ajaran-ajaran hukum Islam yang berkenaan dengan transaksi kebendaan. Karakter hukum Islam bidang muamalah adalah terbuka terhadap perubahan dan inovasi, bisa dinalar (intelligible/ma’qulah al-ma’na), bebas dari segala pembatasan (bara`ah al-asliyyah), dan prinsip kebolehan (al-ibahah). Karakter ini berkebalikan dengan hukum Islam bidang ibadah (ritual), yakni tertutup terhadap perubahan dan inovasi, tidak bisa dinalar (ghayr ma’qulah al-ma’na), dan prinsip ketidakbolehan (mamnu’ah al-asliyyah).
Ketidaktepatan menerapkan paradigma hukum tersebut akan berakibat pada kerancuan dalam membedakan ajaran mana yang perlu dipertahankan keasliannya dan mana yang sesungguhnya bisa diadaptasikan dengan kehidupan masyarakat yang terus berubah.
Pasar Muamalah ala Zaim Saidi yang dimaksudkan untuk menduplikasi praktik muamalah pada masa Nabi dengan menggunakan mata uang dinar (emas) dan dirham (perak) dalam semua transaksinya dapat dianggap sebagai salah satu contoh ketidaktepatan di dalam menggunakan paradigma hukum Islam.
Berdasarkan paradigma hukum muamalah di atas semestinya teknis bermuamalah tidak perlu diduplikasi dan di bawa ke zaman sekarang sebagaimana aslinya. Penggunaan dinar dan dirham pada masa Nabi tentu tidak lepas dari situasi yang membingkainya. Dinar sendiri sesungguhnya adalah mata uang kerajaan Romawi, sementara dirham adalah mata uang kerajaan Persia.
Kedua mata uang tersebut kemudian dibawa masuk ke Jazirah Arab oleh para pedagang yang biasa berdagang di kedua kerajaan besar tersebut, yakni di Yaman (Persia) dan di Syam (Romawi), sebagaimana digambarkan dalam surat Quraisy. Masyarakat Arab waktu itu tidak memiliki mata uang sendiri sehingga mereka biasa bertransaksi secara barter sebagaimana tercermin dari sejumlah hadis Nabi tentang enam komoditas ribawi.
Historisitas penggunaan dinar dan dirham oleh Nabi menunjukkan bahwa kedua mata uang tersebut bersifat profan yang berkaitan dan ruang dan waktu tertentu. Ia bisa berubah mengikuti perubahan zaman. Jadi tidak harus dengan dinar dan dirham untuk mengikuti ajaran Nabi, dengan rupiah pun bisa, yang penting didasari oleh nilai-nilai universal yang diajarkan Nabi dalam bertransaksi, yakni jujur, adil, dan maslahat. ()
*Jamal Abdul Aziz
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam)