PURBALINGGA – Kerusakan di daerah aliran sungai (DAS) Serayu akibat penambangan pasir, terutama di wilayah Kabupaten Purbalingga disebut sudah parah.
Ketua Forum Rembuk Masyarakat Pengelolaan Sumber Daya Air Serayu Hilir, Eddy Wahono, kemarin mengatakan, pasir di DAS Serayu tidak memiliki suplai sedimen dari gunung berapi. Yang ada, adalah hasil guguran tebing.
“Kerusakan sungai akibat penambangan pasir diperparah dengan beroperasinya tambang ilegal. Sayangnya, penindakan terhadap mereka oleh pemerintah terkesan saling lempar,” katanya, Selasa (24/9).
Ada pula keluh kesah pemilik izin resmi terhadap perlindungan hukum atas usahanya. Apa yang telah dikeluarkan untuk mengurus izin, tidak sepadan dengan hasilnya. “Sebab, mereka harus bersaing dengan yang ilegal dalam hal penjualan,” imbuhnya.
Selain penambang ilegal, lebih lanjut, yang perlu menjadi perhatian, disinyalir banyak pelanggaran kaidah teknis maupun hukum yang dilakukan penambang legal.
Contohnya, penambang legal melanggar wilayah izin usaha pertambangan di luar ordinat atau menambang di dekat bangunan.
Oleh karena itu, perlu segera dibentuk tim terpadu yang terdiri Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO), Kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
“Sehingga mereka bisa melakukan penegakan aturan hukum secara pasti,” katanya.
Karena sampai saat ini, belum ada gaungnya penegakan hukum yang jelas pada pelanggar pertambangan, yang notabene diamanatkan pada pasal 158 UU 4 2009 tentang pertambangan minerba.
(Baca juga: Warga Kemangkon Tolak Galian C)
Seperti diketahui, beberapa waktu terakhir, terjadi aksi warga menolak beroperasinya tambang pasir galian C di beberapa wilayah di Purbalingga.
Masing-masing warga di Desa Penaruban, Lamongan dan Bukateja Kecamatan Bukateja, Kelurahan Wirasana Kecamatan Purbalingga serta Desa Kemangkon Kecamatan Kemangkon. (H82-60)