SALAH seorang penulis muda berbakat dari tanah Perwira Purbalingga. Puisi-puisi Aditya Verdiansyah diselimuti gejolak pencarian diri.
Berikut puisi-puisi Aditya Verdiansyah. Selamat membaca.
SOLENESS
Angin bergoyang ditiup waktu
Rintik hujan yang tak bisa tergenggam, kecuali dalam ingatan
Estetika mandi pertanyaan dan pengarahan
Tuan tersenyum bingung melihat itu semua
Dendam luntur menjadi rindu untuk disemai
Cinta yang halus bagai kabut,
Kabut yang misteri layaknya kekasih
Kekasih yang menampik laju detak jantung
Kekasih….., Sunyi….., Kucari…., Cari
Menara waktu sudah hampir mati
Yang dinanti tak tercium lagi
Denyut jantung dan menara waktu ditakdirkan mati
Bekasi, 2021
(Baca Juga: Puisi-Puisi Muhammad Daffa)
DI ATAS LANGIT ADA NOVEMBER
Apa yang sedang hujan ucapkan
Di bawah matahari November yang mendung dan waktu berputar murung
Di belainya tubuh cabai yang perawan itu sampai ke ujung daun
Diperdengarkannya suara gesekan dirinya dengan tubuh cabai
Apa yang sebetulnya hujan ingin tunjukkan
Perasaan puspa kering yang diseret waktu, keadaan, juga sebuah martabat
dari omong kosong kecil-kecilan
Dibasahinya hari yang kering, meskipun sekali kering akan tetap kering
Di tutupinya mata air air mata, mekipun sekali sakit akan tetap sakit
Apa yang sebetulnya hujan inginkan
Mengapa kau tetap saja turun setiap harinya
Apakah kau tidak mempunyai wudel yang sanggup menakar staminamu
Sekali-kali coba tanyakan hati nuranimu “ apa tidak bosan meneteskan air mata “
Purbalingga, 2021
TUHAN MELU NJUGUR
Di Cipen house engkau menemuiku
Rahasia cahayamu terjaga
Di saat aku mempertanyakan keberadaanmu
Cahayamu tak ingin pergi
Hati yang tak kunjung stabil
Mengharap cahaya takkan lari
Sesuatu yang tak kukenali
Kuberi tau yang aku tak tau
Kau beri tau yang aku tak duga
Bagai pingpong yang dimainkan dengan gaya kelakar
Aku memang tak mengenalmu
Tapi aku ingin
Memang belum kuberikan sepenuhnya
Tapi aku ingin
Seperti yang kau bilang
” Jika kau ingin cintaku, berjuanglah meskipun sebetulnya kau tak mampu “
Purbalingga 2021
Puisi-Puisi Aditya Verdiansyah
MALAM, DESA DAN KEMATIAN
Orang-orang memanggul keranda, bergegas menuju tiada nafas
Di antara bangku putih sedikit canda
Tawa lirih, tangisan keras merujuk pada bayang-bayang ;
Apakah itu kematian ?
Apakah kematian itu ?
Malam menjawab dengan lantang sambil memanggang rembulan dan bintang
“ Kabut tanpa jejak. “
Apakah kantuk untuk telungkup dengan mata tertutup diperbolehkan?
Sementara mayat harus segera dimandikan, didoakan dan diberi rasa hormat atas kehebatannya menjalani hidup dan perang melawan rasa untuk mencuri nyawa dari tuhan
Purbalingga, 2021
(Baca Juga: Puisi-Puisi Mufti Wibowo)
TIADA TANGGUH SELAIN KAU
Kulihat di satu ruang dengan waktu yang melambat
Para pengembara menghisap aroma malam
Lamunannya lari pada masa silam
Belum sampai, habis satu batang aroma malam
Tenanglah kawan… Tenanglah para pengembara
Nyanyian laut akan sampai ke tepi pantai
Tenanglah kawan…. Tenanglah para pengembara
Hujan badai pasti lebur menjadi pelangi
Tetaplah nyanyikan sajak-sajak itu
Jadikanlah abadi sajak-sajak itu
Hiduplah di antara sajak-sajak itu
Matilah di dalam sajak-sajak itu
Purbalingga, 2021
Aditya Verdiansyah, tinggal Desa Walik Rt016/008 Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Lulus dari SMK N 1 Purbalingga. Bergiat di Komunitas Teater Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga.