PURWOKERTO – Pemerhati sejarah dari Banjoemas History and Heritage Community (BHHC) menilai sejarah keberadaan Stasiun Timur Purwokerto tetap harus diabadikan. Meskipun pembangunan Purwokerto City Center (PCC) tetap dilaksanakan.
Menurut pegiat BHHC, Jatmiko Wicaksono, dari hasil penelusurannya, stasiun tersebut dibangun oleh Serajoedal Stoomtram Maatscahappijc (SDS), sekitar tahun 1896. Namun, nama Stasiun Timur baru disematkan sejak tahun 1915.
“Stasiun ini didirikan untuk memperlancar pengiriman komoditas gula ke Benua Eropa dan Amerika. Dahulu di karesidenan Banyumas ada Pabrik Gula (PG) Kalibagor yang dibangun tahun 1839, PG Bojong (1888), PG Klampok (1889) dan PG Kaliklawing (1891),” jelasnya di sela pameran arsip di halaman Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Banyumas, Kamis (3/10).
Jatmiko bercerita, JF de Ruyter de Wildt, administratur PG Klampok mengusulkan pembangunan jalur kereta api untuk mengamankan pasokan gula yang rusak diperjalanan. Sebab, proses pengiriman yang melewati jalur sungai Serayu terlalu lama.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Yogyakarta ini mengatakan, tahun 1983 Pemerintah Belanda menyepakati konsensi dan operasi jalur kereta SDS dengan biaya kurang lebih f 1.500.00. Jalur pertama dibuat melintasi Maos-Rawalo-Panisinan-Tinggartugu-Glempong-Sidabowa-Tanjung dan Purwokerto sepanjang 29 kilometer.
“Stasiun ini memiliki fasilitas lengkap. Ada terminal bongkar muat, <I>turntable<P>, bengkel, depo kereta, lima buah emplasemen, perkantoran, hotel, fasilitas olahraga dan taman hingga rumah administratur serta karyawan. Lokasinya terletak di Desa Kranji, yang berpusat di Paguwan (sekarang kantor Bupati Banyumas) dan Kota Lama di Pasar Wage Purwokerto,” jelasnya.
Jalur pertama itu, kata dia, juga menghubungkan stasiun dengan pabrik gula baru bernama Suikerfabriek Purwokerto. Belakangan, pabrik ini telah berubah menjadi pusat perbelanjaan.
Masih Aktif
Pembangunan jalur kereta dilanjutkan hingga ke arah Banjarnegara sampai Selokromo Wonosobo tahun 1915. Saat itu jalur Staats Spoorwagon (SS) antara Cirebon Kroya juga melewati Kota Purwokerto.
“Sejak tahun 1917, Purwokerto punya dua stasiun yaitu milik SDS (Stasiun Timur dan milik SS (Stasiun Barat) yang masih aktif hingga saat ini,” urainya.
Menurut Jatmiko, pada masa kemerdekaan, Stasiun Timur dibakar oleh tentara Republik Indonesia. Hampir 50 persen bangunan hancur tak bersisa. Akibatnya, Djawatan Kereta Api Indonesia, mulai menyederhanakan fasilitas dan fungsinya.
Dalam kurun waktu 30 tahun, jalur KA Purwokerto-Wonosobo mengalami penurunan jumlah penumpang. Akhirnya, tahun 1980an, jalur ini dinonaktifkan dan dialihfungsikan sebagai emplasemen bongkar muat PT Pupuk Sriwijaya hingga tahun 2008. Meski tak aktif lagi, sisa-sisa bangunan masih terlihat jelas sampai sekarang.
“Sejarah panjang itu, akan segera hilang dengan hadirnya pusat pertokoan modern. Lagi-lagi warisan budaya dan sejarah Banyumas terancam akan hilang dan sulit ditelusuri lagi,” kata dia.
Sebelumnya, Kepala Seksi Sejarah dan Purbakala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Carlan mengatakan, sesuai kajian yang dilakukan beberapa waktu lalu, TACB meminta pelaksana proyek pembangunan Purwokerto City Center (PCC) tetap mempertahankan satu benda diduga cagar budaya di komplek stasiun lama. Meski sebenarnya kawasan Stasiun Timur belum masuk pada daftar 59 cagar budaya BPCB.
“Namun, karena sifatnya kawasan dan memiliki nilai sejarah, TACB dan BPCB tetap merekomendasikan untuk mempertahankan dan melestarikan satu dari tiga gerbang gudang yang masih ada,” kata Carlan. (K35-52)