PURWOKERTO – Kompleksitas permasalahan yang muncul dan harus dihadapi penyelenggara
pemilu dan masyarakat selaku pemilih, pada pemilu serentak 2019 lalu, mendorong perlu ada
evaluasi mendasar untuk penyelenggaraan pemilu ke depan.
“Hasil capaian pemilu serentak 2019 ini,ternyata tidak jauh berbeda dengan pemilu 2014 atau sebelumnya, pada saat masih dipisah antara pemilu presiden dengan pemilu legislatif,” nilai pengamat politik dari FISIP Unsoed, Ahmad Sabiq, saat menjadi pembicara dalam diskusi terkait ‘Pemilu 2019, dan Masa Depan Demokrasi Indonesia’, di Aula FISIP Unsoed, Selasa (10/12).
Diskusi tersebut difasilitasi KPU Banyumas, dengan menghadirkan nara sumber lain dari komisioner KPU Banyumas, Yasun Surya Mentari, dipandu moderator Hanan Wiyoko, dan perseta dari kalangan mahasiswa dan media massa.
Sabiq menilai, pemilu serentak ternyata tidak mempengaruhi efisiensi anggaran, justru alokasinya tergolong cukup besar dibandingkan pemilu 2014 lalu. Secara nasional pemilu serentak ini dianggarkan sebesar Rp 24,8 triliun. Sedangkan di 2014 hanya Rp 24,1 triliun.
“Mestinya kalau dibuat serentak lebih efisien, karena tidak ada pilpres tersendiri. Ternyata ini lebih tinggi pengeluaran yang dilakukan,” tandasnya.
Kenaikan Suara
Dari pemilu serentak ini, lanjut dia, juga tidak memberi insentif bagi partai politik pengusung calon presiden berdampak langsung terhadap peningkatan suara untuk pemilu legislatif. Dari semua partai peserta pemilu yang mendapatkan kenaikan suara signifikan suara, katanya, hanya Partai Nasdem.
“Sedangkan partai besar, seperti PDI-P, Gerindra, juga tidak cukup mendongkrak perolehan suara. Bahkan seperti Partai Golkar, cenderung menurun. Sementara partai-partai kecil yang lama, juga tidak tereliminasi dari upaya untuk penyerdahaan partai. Padahal ini salah satu harapan melalui pemilu serentak bisa dilakukan penyerdahanaan papol,” katanya.
Harapan lain dari pemilu serentak bisa membuat pemilih makin cerdas, nilai dia, dalam kenyataannya, banyak pemilih yang bingung saat mau memilih lima jenis surat suara. Padahal, dalam pemilu serentak ini, hanya ditambah satu surat suara saja untuk calon presiden.
Sabiq mengungkapkan, antara realita pemilu serentak dengan konsepsi awal asumsi teori dari bangunan pemilu serentak dibangun dengan tujuan empat hal. Yakni pertama efisiensi anggaran atau hemat, terciptanya kestabilan pemerintahan yang dihasilkan antara keselarasan hasil antara pemilu presiden dan pemilu legislatif.
Kemudian ketiga, penyederhanaan partai politik dan kemepat yakni, memberi ruang kepada pemilih untuk menjadi pemilih yang cerdas.
“Solusi untuk perbaikan pemilu serentak ini, bukan berarti harus meniadakan pemilu serentak ini, atau kembali pemilu presiden dipisah dengan pemilu legislatif. Atau lewat pemilu tidak langsung. Karena kebiasaan di kita (bangsa Indonesia) jika membuat desain pemilu tidak berjangka panjang,” katanya.
Untuk solusi ke depan, menurut Sabiq, pertama membuat tata kelola pemilu tidak rumit atau kompleks atau lebih sederhana. Dia mengusulkan, pemilu tetap serentak, namun serentak dibuat dua kali.
Pertama serentak nasional untuk pemilu presiden dan anggota DPR beserta DPD. Serentak
lokal pemilihan kepala daerah dan DPRD. (G22-20)