Duduk melingkar memperbincangkan toleransi. Itulah yang dilaksanakan puluhan anak muda lintas iman saat peringatan Hari Toleransi Internasional di Semesta Coffee, Dukuhwaluh, Kembaran, Senin (18/11) malam. Malam itu berbagai definisi dan kesepahaman tentang toleransi didiskusikan.
“Toleransi jangan hanya sekadar ucapan saja. Tetapi toleransi harus maujud dalam perbuatan. Sebagaimana guru bangsa kita Gus Dur, bertindaklah atas nama kemanusiaan. Karena kemanusiaan melampaui suku, agama, ras antargolongan sekalipun,” jelas Budi Rohadi, pegiat Forum Persaudaraan Lintas Iman (Forsa) Banyumas yang juga penganut agama Kong Hu Chu memulai perbincangan.
Baginya dengan laku nyata, toleransi akan berdampak bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di tengah perbedaan yang telah ada sejak dulu toleransi sangat penting untuk keharmonisan dan ketentraman hidup.
“Jangan kita dicerai berai atas nama agama atau keyakinan. Sebagai bangsa kita harus bersatu. Dalam toleransi ada ‘Tat Tvam Asi’, aku adalah kamu, kamu adalah aku,” jelasnya.
Untuk itulah dalam toleransi yang dipentingkan adalah bagaimana menghargai perbedaan, bukan mencari perbedaan ataupun persamaan. Yang perlu dilaksanakan adalah bagaimana hidup bersama membuka ruang dialog untuk perdamaian. Apalagi setiap agama punya ajaran universal tentang kebaikan dan perdamaian.
“Kami sangat menghargai ketika ada momen Paus Fransiskus bertemu menyepakati perjanjian toleransi dengan imam besar Al Azhar. Di sini kunci toleransi adalah mencari perdamaian,” kata Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Robertus Panca Aditya.
Hidup bersama untuk damai dan mencapai kesejahteraan bersama hendaklah terus diupayakan semua pihak. Kebhinekaan menjadi warna pelangi yang patut untuk dinikmati bukan untuk dicaci. Untuk itulah gotong royong, saling melengkapi dan mengisi diperlukan.
“Dalam kehidupan bermasyarakat, saya bersama komunitas agama lain juga membangun koperasi atas dasar kekeluargaan. Agama bukan menjadi sekat perbedaan, karena kita punya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran bersama,” jelas Adit.
Spirit Dasar Manusia
Sementara itu dalam perspektif penghayat kepercayaan, toleransi adalah bentuk spirit yang harus telah ada sejak dalam diri manusia. Toleransi adalah bersifat luas tak hanya soal agama saja, tetapi dalam laku hidup diri, masyarakat bahkan alam semesta.
“Toleransi adalah spirit yang harusnya bisa diterapkan ke berbagai lini kehidupan. Dalam kepercayaan ada sarana untuk mewujudkan toleransi yaitu memayu hayuning pribadi, memayu hayuning sesama dan memayu hayuning bawana. Singkatnya keseimbangan harus ada sejak ada dalam diri, kepada sesama hingga semesta,” jelas Amar Kazet, tokoh muda penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Islam, ajaran untuk mengendalikan diri, menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan keji dan munkar menjadi salah satu inti ajaran toleransi. Untuk itulah, memahami adanya ajaran kebaikan universal pada tiap agama sangat penting. Setiap agama punya keunikan, namun tak perlu dipermasalahkan.
“Setiap agama mendorong individu untuk menjadi baik. Jadi toleransi itu dinamis, tidak kaku sehingga beda tapi rukun. Ketika telah saling memahami perbedaan, maka perbedaan tak lagi menjadi sekat antar individu, tetapi justru menjadi perekat di tengah perbedaan,” ujar Tegar Roli, Generasi Muda Forum Kerukunan Umat Beragama (GM FKUB) Banyumas.
Lebih jauh, perbincangan toleransi itu menekankan betapa toleransi haruslah bersifat luas. Toleransi tidak melulu harus soal perbedaan keyakinan saja. Yang tak kalah penting adalah bagaimana toleransi dibangun untuk menekan hingga menghilangkan ketimpangan ekonomi, politik dan sosial budaya.
“Kalau soal perbedaan agama di desa-desa mungkin sudah tak lagi masalah. Justru soal ekonomi yang harus dipecahkan bersama. Bagaimana yang mampu secara ekonomi dapat toleran, tidak abai kepada yang miskin atau tertindas. Itu juga penting,” jelas Mahbub Wibowo, pegiat Sekolah Literasi Luar(K)otak Ajibarang yang turut menyampaikan pernyataan.(Susanto)