Banyumas, Suara Banyumas.com – Mengupas Buku Transformasi Budaya Politik Menuju Politik Budaya: Nasehat untuk Anak Presiden yang ditulis oleh Fathul Aminudin Aziz ini dapat mengangkat pandangan baru dalam menyoroti dinamika politik Indonesia.
Buku yang ditulis dari hasil penelitian Pilkada di Cilacap, yang berlangsung dari Desember 2015 hingga April 2017 ini dituangkan dengan pendekatan yang ringan namun mendalam.
Fathul Aminudin Aziz menyajikan perspektif segar tentang bagaimana budaya politik dapat berubah menjadi “politik budaya” yang lebih positif dan konstruktif. Buku ini ditujukan untuk memberikan inspirasi alternatif bagi masyarakat Indonesia yang mungkin mulai jenuh dengan dinamika politik saat ini.
Nasehat untuk Anak Presiden: Generasi Baru yang Membawa Perubahan
Judul “Nasehat untuk Anak Presiden” merujuk pada anak-anak para pejabat yang memiliki peran potensial untuk mendorong perubahan melalui para orang tua mereka. Alih-alih mengandalkan lembaga formal seperti DPR, BPK, atau KPK, peran anak-anak pejabat ini dipandang lebih efektif untuk menyampaikan perspektif masyarakat, terutama mereka yang berada di arus bawah. Dengan peran yang lebih dekat dengan para pemimpin, mereka diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan dan memandu orang tua mereka menuju perubahan yang lebih baik untuk negeri tercinta, Indonesia.
Kerumitan dalam Dinamika Politik Demokrasi
Melalui buku ini, penulis menguraikan berbagai lapisan kompleks dalam dunia politik, di mana setiap interaksi politik memiliki makna dan simbol yang lebih dalam dari sekadar tatap muka biasa. Sebagai contoh, percakapan politik yang dilakukan sambil menikmati secangkir kopi bukan hanya obrolan ringan, tetapi bisa menjadi arena penting untuk memajukan kepentingan kekuasaan. Fathul menekankan bagaimana setiap elemen interaksi, mulai dari nada suara hingga sikap tubuh, menjadi perlambang yang sarat makna dalam dinamika politik.
Demokrasi: Potensi dan Tantangan
Penulis juga membahas realitas demokrasi modern yang melibatkan banyak aktor. Kehadiran aktor yang semakin beragam ini menciptakan kerumitan baru dalam komunikasi politik, intensitas persaingan, hingga penggunaan sumber daya. Meski demokrasi menjanjikan keterlibatan semua pihak, namun efeknya bisa menjadi bumerang apabila tidak dikelola dengan baik, karena proses politik justru berisiko mengalami inefisiensi dan degradasi, baik dalam politik maupun bidang lain.
Mewaspadai Realisme Politik
Dalam dunia politik yang keras ini, penulis menyampaikan bahwa aktor yang paling kuat, khususnya dari sisi ekonomi dan jaringan strategis, lebih cenderung memenangi pertarungan politik dibandingkan aktor yang mengandalkan etika dan kemampuan. Ini adalah bagian dari “realisme politik” yang menggambarkan demokrasi sebagai kompetisi di mana “yang kuat akan menang”. Di sinilah pentingnya peran anak-anak pejabat yang memiliki kedekatan personal untuk menyampaikan masukan dari lapisan masyarakat dan membantu negara menuju arah politik yang lebih etis dan berkelanjutan.
Referensi untuk Dunia Pendidikan
Penulis berharap buku ini bisa menjadi referensi yang bermanfaat bagi mahasiswa, terutama dalam mata kuliah kebijakan publik dan politik ekonomi. Ditulis dengan bahasa yang akrab, buku ini disajikan dengan cara yang mudah dipahami, dilengkapi dengan sisi manajerial dan data pendukung dari berbagai sumber.
Fathul Aminudin Aziz menyampaikan terima kasih dan terbuka terhadap kritik dan saran untuk pengembangan karya ini ke depannya.
Fenomena Calo Politik dalam Kontestasi Pilkada
Di Kafe Berani, diskusi politik kembali menghangat. Aji, seorang wartawan senior, berbagi cerita tentang hiruk-pikuk jelang Pilkada Kabupaten Cilacap. Ia mengungkapkan prediksinya terkait kandidat calon bupati, termasuk seorang calon muda yang berani maju tanpa mahar politik dengan membawa semangat integritas.
Namun, kondisi politik daerah itu ternyata kompleks dan penuh tantangan. Calon petahana didukung oleh kelompok senior dan birokrat, sementara dukungan calon muda berasal dari kalangan muda yang idealis. Meski tanpa mahar, calon muda itu akhirnya kalah telak dalam pemilihan, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh “broker politik” dalam kontestasi ini.
Aji mengungkapkan keprihatinannya terhadap para tokoh agama dan birokrat yang turut serta dalam permainan politik ini. Meskipun para tokoh tersebut diketahui memahami larangan netralitas birokrasi, banyak di antara mereka tetap terlibat dalam kampanye terselubung untuk calon tertentu, terutama petahana. Data survei dari penelitian Aji menunjukkan bahwa banyak pejabat di tingkat desa dan kecamatan aktif melakukan kampanye terselubung untuk calon petahana. Bahkan, para ASN yang mengerti undang-undang tentang netralitas, seperti PP No. 53 Tahun 2010 dan UU No. 5 Tahun 2014, tampaknya tetap melanggarnya.
Fenomena “calo politik” ini mencerminkan tantangan serius dalam menjaga integritas politik dan birokrasi di Indonesia. Ketika para pemangku kepentingan yang harusnya menjadi panutan justru terlibat dalam praktik transaksional, pertanyaan besar muncul: Bagaimana masyarakat dapat mengandalkan pemerintah sebagai pelayan publik yang netral?
Pesan kuat disampaikan pada akhir perbincangan di kafe tersebut: kemandirian politik tidak hanya soal memilih kandidat, tetapi juga tentang keteguhan nilai moral dan ekonomi yang tak terombang-ambing oleh kepentingan pragmatis.