PURWOKERTO – Suarabanyumas.com – Jagat media sosial ramai membicarakan video viral prosesi kelulusan siswa SMK Citra Bangsa Mandiri (CBM) Purwokerto yang digelar bak wisuda mahasiswa. Lengkap dengan toga, iringan musik, hingga kemeriahan layaknya sidang senat kampus, acara ini menuai pro dan kontra dari netizen.
Video yang pertama kali diunggah di TikTok itu hingga Selasa (13/5) telah mencatat 29 like, 4.100 komentar, 1.107 disimpan, dan 9.460 kali dibagikan. Namun sayangnya, sebagian besar komentar justru bernada negatif. Warganet mempertanyakan relevansi hingga aspek pembiayaan kegiatan tersebut.
Tak butuh waktu lama, perhatian publik pun mengarah pada kebijakan larangan wisuda di jenjang pendidikan menengah, terutama di sekolah negeri. Merespons hal ini, Dwi Sucipto, Kepala Seksi SMA dan SLB Cabang Dinas Pendidikan Wilayah X Jawa Tengah, menegaskan bahwa larangan mengadakan wisuda dengan pungutan biaya hanya berlaku bagi sekolah negeri.
“Yang tidak dibolehkan mengadakan wisuda/pelepasan siswa yang menimbulkan pungutan adalah SMA/SMK negeri,” tegasnya.
Dwi juga menyampaikan bahwa kebijakan larangan pungutan bagi satuan pendidikan negeri sebenarnya sudah berlaku sejak lama, tak hanya untuk wisuda, tapi juga seluruh kegiatan sekolah lainnya.
“Satpen (satuan pendidikan) negeri dilarang mengadakan pungutan untuk kegiatan apapun,” lanjutnya.
Sementara itu, bagi sekolah swasta, termasuk SMK CBM Purwokerto, kewenangan pengelolaan termasuk pembiayaan kegiatan serupa berada di tangan yayasan. Jika ada keluhan, pihak yayasan wajib menindaklanjuti dan mengembalikan pungutan jika ditemukan pelanggaran.
Kepsek SMK CBM: “Wisuda Ini Bentuk Apresiasi, Bukan Komersialisasi”
Menanggapi viralnya prosesi wisuda tersebut, Kepala Sekolah SMK CBM Purwokerto, Prisillia Mutiara Sari, S.Si Gr, buka suara. Ia menegaskan bahwa acara tersebut bukan hal baru, dan sudah menjadi bagian dari tradisi sekolah sejak tahun 2013.
“Wisuda yang dilaksanakan merupakan bentuk rasa hormat dan penghargaan kami untuk siswa, guru, dan tentunya orangtua,” jelas Prisillia.
Acara kelulusan itu diikuti oleh 326 siswa kelas XII dan digelar pada Kamis (8/5) di gedung serbaguna sekolah. Prisillia menambahkan bahwa seluruh rangkaian kegiatan sudah masuk dalam kalender akademik, dan orang tua siswa telah diberi informasi sejak awal tahun ajaran.
Konten yang tersebar luas di media sosial, menurut Prisillia, memang sengaja disiarkan secara langsung melalui kanal digital sekolah seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan YouTube—sebagai bagian dari upaya mengabadikan momen penting siswa.
Menanggapi kritik soal atribut toga dan gaya prosesi yang menyerupai wisuda perguruan tinggi, Prisillia menyebutnya sebagai simbol semata.
“Pemakaian atribut merupakan simbol. Tidak ada undang-undang yang melarang atau mengaturnya,” ujarnya.
Meski begitu, pihak sekolah membuka ruang evaluasi untuk kegiatan ke depan.
“Walaupun tidak ada aturan bakunya, tentu akan kami pertimbangkan dan evaluasi untuk perbaikan layanan pendidikan kami,” pungkasnya.
Antara Tradisi dan Kontroversi
Fenomena wisuda SMK ala universitas ini menjadi sorotan tak hanya karena visualnya yang megah, tapi juga karena sensitifnya isu pungutan di dunia pendidikan. Meski legal untuk sekolah swasta, peristiwa ini membuka kembali ruang diskusi publik: perlu tidaknya wisuda di tingkat SMA/SMK, dan bagaimana etika serta porsinya dalam dunia pendidikan menengah?
Apresiasi? Mewah-mewahan? Atau murni tradisi? Netizen tetap bebas berpendapat. Tapi bagi siswa dan orang tua SMK CBM, tampaknya wisuda itu bukan sekadar seremoni, tapi momen penghargaan atas perjuangan selama tiga tahun terakhir.