BANYUMAS-DI SALAH satu sudut ruangan madrasah, tampak sosok laki laki yang tengah sibuk melakukan aktivitasnya sebagai seorang guru.
Meski sekarang berlangsung pandemi Covid-19 dan sebagian sekolah masih menggelar pembelajaran jarak jauh, namun pria tersebut tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik.
Selain mengajar di MAN 2 Banyumas, laki laki yang memiliki nama Yusuf Haryadi ini ternyata juga memiliki kesibukan lain, yakni sebagai pendakwah.
Dalam menyampaikan dakwah, pria yang biasa mendapat panggilan ustaz Yusuf Haryadi ini memiliki kekhasan sendiri dan berbeda dengan ustaz-ustaz yang lain.
Dekat dengan Masyarakat
Ia memilih media wayang kulit sebagai media dakwahnya. Salah satu alasannya, karena wayang kulit sudah dekat dengan kehidupan masyarakat, terutama yang tinggal pada wilayah pedesaan.
Dia sendiri mengaku suka dengan wayang kulit sejak kecil. Saat masih anak-anak, ia kerap ikut orang tuanya menonton pagelaran wayang kulit dari satu lokasi ke lokasi yang lain.
Kecintaannya terhadap wayang kulit berlanjut sampai dewasa, sehingga membuatnya tertarik untuk belajar memainkan wayang kulit.
Orang yang Berjasa
Salah satu orang yang cukup berjasa dalam menggembleng kemampuannya memainkan wayang kulit adalah Ki Subur Widadi, salah seorang dalang terkenal di Kabupaten Banyumas.
Saat masih remaja hingga kuliah, ia belajar langsung dari Ki Subur Widadi. Selama “berguru” ke Ki Subur, kemampuannya dalam memainkan wayang kulit semakin terasah.
”Yang kali pertama melakukan dakwah dengan menggunakan media wayang kulit itu ya Ki Subur Widadi. Saya tertarik dengan apa yang Ki Subur Widadi telah lakukan tersebut,” terangnya.
Tak hanya belajar dari Ki Subur Widadi, ia juga mengaku pernah “nyantri” memainkan wayang kulit dengan ustaz Sonhaji yang juga memiliki kemampuan berdakwah sekaligus mendalang.
Setelah beberapa waktu belajar dari Ki Subur Widadi, ia dinyatakan lulus dan boleh berdakwah dengan media wayang. ”Saya juga sempat mendapatkan test kecil-kecilan,” ujar dia.
Wayang Dakwah Walisongo
Sejak saat itu, ia mengaku mendapat banyak undangan tampil menyampaikan dakwah dengan wayang. Saat berdakwah, ia tidak sendiri. Lantaran konsepnya wayang dakwah, ia juga membawa tim dan diberi nama “Wayang Dakwah Walisongo”.
Nama ini diambil karena konsepnya juga tidak jauh berbeda dengan cara dakwah para Walisongo, yakni dengan menggunakan media seni.
”Saya tertarik dengan konsep dakwah para wali. Sunan Drajat misalnya, ia berdakwah dengan menggunakan tembang, Sunan Bonang berdakwah dengan gamelan (bonang) dan Sunan Kalijaga berdakwah dengan wayang,” jelas dia.
Menurutnya, melakukan syiar agama Islam dengan media wayang itu hakekatnya indah. Apalagi dengan paduan seni gamelan yang unik, sehingga menjadi sebuah seni yang indah.
”Kalau untuk formasi lengkap, jumlah personil timnya bisa mencapai 13 orang. Namun itu juga fleksibel, tergantung kesiapan mereka. Mereka yang mengiringi saya saat tampil,” terang dia.
Selain itu, jumlah personil yang mengiringi saat tampil juga menyesuaikan dengan permintaan pihak yang mengundang. ”Kalau yang mengundang minta cukup hanya dengan menggunakan organ tunggal, ya jumlah personilnya tidak sebanyak itu,” tambah dia.
Dengan musik pengiring organ tunggal, menurutnya, tidak membutuhkan jumlah personil yang banyak. Namun penilaian sebagian orang kurang mantap. Kendati demikian, ia mengaku tidak mempermasalahkan bila ada yang minta agar mendapat iringan organ tunggal.
Cara berdakwah atau syiar Islam dengan menggunakan media wayang, ternyata cukup menarik perhatian bagi sebagian masyarakat, khususnya mereka yang sudah berusia tua dan tinggal pedesaan.
”Mereka yang pada awalnya tidak mau ikut pengajian, setelah ada wayang dakwah ini mereka menjadi ikut,” ungkap dia.
Dia mengaku tidak bisa menghitung sudah berapa kali mendapat undangan untuk tampil dalam berbagai jenis acara. Baru-baru ini, ia mendapat permintaan tampil dalam acara ruwatan di Desa Wiradadi Kecamatan Sokaraja.
Tak Kesulitan
Yusuf mengaku, selama ini tidak mengalami kesulitan mendapatkan personil gamelan pengiring. Hanya saja, untuk mendapatkan vokalis yang memiliki kemampuan membawakan lagu jawa dan lagu religi tidak mudah.
”Kadang ada vokalis yang hanya mampu membawakan lagu Jawa saja, tetapi tidak bisa ketika menyanyikan lagu religi. Padahal, kami butuhnya bisa menyanyikan dua jenis lagu tersebut,” ujarnya.
Berlangsung Tiga Jam
Saat tampil durasi waktunya juga tidak terlalu lama, sebab konsep penekanannya adalah berdakwah. Lagi pula kalau terlalu lama, khawatir masyarakat menjadi bosan.
”Biasanya hanya berlangsung sekitar tiga jam saja. Makanya dulu saat zamannya Ki Subur Widadi ada istilah wayang tiga jam-an (berlangsung hanya tiga jam),” terangnya.
Kendati demikian, ia mengaku bisa memainkan wayang kulit semalam suntuk, seperti pagelaran wayang kulit pada umumnya. Hanya saja, kembali lagi konsep penekanannya adalah dakwah.
Selain itu, ia juga memilih untuk tidak tampil semalam suntuk lantaran aktivitasnya sebagai seorang guru.
”Saya itu kan seorang guru, sehingga saya tidak tertarik untuk tampil semalam suntuk. Paginya kan saya harus mengajar anak-anak,” katanya.
Sebelum memainkan wayang kulit saat tampil, terlebih dulu ia menyampaikan materi pengantar dakwah ke jamaah yang hadir. ”Saat menyampaikan materi pengantar, saya menghadap ke jamaah. Setelah selesai, baru memainkan wayang kulit,” imbuh dia.
Ubah Lirik
Untuk menghindari kebosanan jamaah, saat tampil terkadang mendapat iringan musik campursari. Lantaran konsepnya dakwah, ia mengubah lirik lagu campursari itu dengan lirik yang sesuai dengan materi dakwah.
”Lirik lagu campursarinya sengaja kami ubah, menyesuaikan dengan materi dakwahnya,” kata laki-laki kelahiran Banyumas, 26 Januari 1981 ini.
Dia mengaku tidak hanya tampil di wilayah Banyumas, tetapi juga pernah tampil pada beberapa kabupaten/kota lain.
”Pernah tampil di Cilacap, Purbalingga, Pekalongan, Pemalang, Batang hingga Brebes. Kalau untuk Kabupaten Banyumas, sudah tampil hampir seluruh kecamatan,” ujar bapak satu anak itu.
Pihak yang mengundangnya juga beragam latar belakangnya. ”Ada pemerintah desa, pribadi, instansi, sekolah dan lain sebagainya,” jelas warga Desa Pageralang Kecamatan Kemranjen Banyumas ini.
Selain itu, jenis acaranya juga beragam. Mulai dari nikahan, khitanan, perpisahan sekolah hingga ruwatan desa.
Ada kebanggaan tersendiri dalam menggeluti aktivitas tersebut. Setidaknya sebagai seorang guru, ia bisa menekuni dunia seni yang menjadi kesenangannya, sekaligus melakukan kegiatan syiar Islam.(bs-6)