PURWOKERTO – Masyarakat Indonesia, termasuk di wilayah Kabupaten Banyumas harus dibiasakan hidup berdampingan dengan bencana.
Ini karena potensi dan tingkat kerawanan,
terutama bencana alam cukup tinggi.
“Misalnya di Kabupaten Banyumas, hampir separo lebih wilayah pernah saya teliti tentang kerawanan longsor. Hasilnya sebagian besar rawan longsor dan 30 persennya masuk kategori atau zona merah atau sangat rawan,” ungkap Prof Dr Suwarno MSi, dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), saat pengukuhan menjadi guru besar kesembilan, di
Auditorium Ukhuwah Islamiyah UMP, Kamis (9/2/2023).
Baca Juga : Tim Pengabdian Masyarakat UMP Edukasi Mitigasi Bencana di Cianjur
Kajian soal longsor di Banyumas, lanjut dia, lebih ditekankan kepada perilaku manusia dalam mengelola lahan.
Longsor terjadi karena ada kondisi lahan di wilayah lereng yang terganggu. Kalau lerengnya tidak terganggu, meski wilayah tersebut masuk dalam zona merah, potensi
longsornya sangat kecil.
“Lereng terganggu itu, 60 persen lebih disebabkan oleh perilaku manusia untuk mengolah lahannya,” tandasnya.
Dia mencontohkan, menanam pohon atau tanaman besar yang terlalu rapat, sehingga beban lereng menjadi tinggi, membuat terasering, mencetak sawah-sawah basah di daerah perbukitan.
Dia menyarankan, lereng jangan dibuat untuk lahan pertanian, namun harus dibiarkan alami, ditanami tanaman besar namun tidak rapat dan yang menghasilkan.
Di wilayah Banyumas Raya, katanya, secara alami kondisi wilayahnya hampir sama, sebagian besar lereng dan perbukitan.
Namun yang membedakan adalah penggunaan lahan. Saat ini di Banyumas, kejadian longsor relatif menurun, jika dibandingkan dengan Banjarnegara.
Menurutnya, pengelolaan lahan di Banyumas relatif lebih bagus, jika dibandingkan di
Banjarnegara.
Dia menilai, masyarakat Banyumas relatif pintar dan bijak dalam memperlakukan lahan lereng.
“Lereng-lereng ditanami tanaman besar yang berjarak, dan di sela-selanya ditanami kapulaga, tanpa membuat terasering,” katanya.
Di Banjarnegara, jelas Suwarno, lereng kebanyakan masih ditanami tanaman salak.
Terlebih lagi di dataran Dieng, terjadi alih fungsi lahan besar-besaran, terutama tanaman kentang yang memicu erosi.
Terjadinya longsor itu, kata dia, diawali dari erosi yang terus menerus. Sehingga solusinya beralih ke tanaman yang tidak membutuhkan pengolahan lahan secara intensif.
“Kapulaga itu tidak perlu diolah lahannya, cukup ditanam bisa hidup dan berbuah. Beda dengan kentang, pengolahan lahannya intensif, dan ini memicu erosi dan kalau erosinya besar akan memicu longsor,” terang dia.
Terkait orasi ilmiahnya, terkait kebencanaannya dengan penekanan hidup berdampingan dengan bencana.
Pada prinsipnya, kata dia, bencana itu disebabkan oleh ulah tangan manusia, selain
takdir dari Tuhan sebagai peringatan dan ujian bagi umat manusia.
Dari sudut agama, terjadinya bencana, sebagai penanda manusia diingatkan untuk selalu mendekatkan diri dengan Tuhan, karena ada tidaknya bencana juga karena seizin dari Allah SWT. Kuncinya harus memperbanyak doa dan ikthiar.
“Karena bencana ini kebanyakan akibat ulah manusia yang merusak alam, maka perilakunya harus diubah. Yakni tidak merusak alam, harus ramah dan berbaik-baik dengan alam atau harus bisa hidup berdampingan dengan bencana,” ujarnya.
Menurutnya, mitigasi bencana yang sering dilakukan, ini konteknya bukan pencegahan. Namun bagaimanan cara mengurangi resiko bencana.
Ini dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas masyarakat, sosialisasi, pelatihan dan pendampingan maupun diskusi-diskusi tentang bagaimana mengelola bencana.
“Yang utama di pencegahan, namun harus melihat bencananya apa. Kalau bencana longsor bisa dicegah. Namun untuk gempa bumi tidak bisa dicegah,” tandasnya.
Rektor UMP, Dr Jebul Suroso mengatakan, karena Indonesia dianggap sebagai swalayan bencana, terutama paling banyak bencana alam longsor. Sehingga ini sangat terkait dengan keahlian Prof Suwarno.
Baca Juga : UMP Luncurkan Perpustakaan Digital di Kampung Binaan
Dengan keahlian geoparsial longsor, maka ia disebut sebagai ‘profesor longsor’.
“Kalau sebelumnya kita punya profesor kopyor (kelapa kopyor-red), ini profesor longsor. Sehingga harapannya, ketika bicara bencana tentang tanah, beliau bisa menjadi salah satu pakar yang menyumbangkan ilmu dan pemikirannya,” kata rektor.
Pengukuhan kali ini, katanya, merupakan pengukuhan guru besar kesembilan, dan tujuh di antaranya masih ada.
Sedangkan yang sedang mengajukan ada tiga lagi, diharapkan tahun ini bisa disetujui Kemenristek Dikti. Sementara yang berpotensi guru besar, lektor kepala ada 36
dosen lagi. (aw-7)