PURWOKERTO – Pandemi Covid-19, yang belum bisa dipastikan kapan berakhirnya, harus siap dihadapi dengan segala bentuk kondisi yang mengikuti.
Masyarakat dunia, termasuk di Indonesia dan Banyumas, kini dituntut untuk siap menerima dan menghadapi terjadi perubahan sosial atau tatanan kehidupan baru.
“Pandemi ini harus dibarengi dengan kesiapan untuk menerima dan menghadapi perubahan sosial. Orang yang sukses dalam perubahan sosial ini, kalau punya teknologi, inovasi dan kreativitas,” nilai pengamat sosial dari FISIP Unsoed, Dr Jarot Santoso, Rabu (19/8).
Bagi negara (pemerintah), kata dia, terus melakukan penanganan pasien dan menggencarkan sosialisasi terkait kesehatan, seperti cuci tangan, memakai masker, konsumsi makanan sehat. Jika dilakukan secara konsisten, ini akan
mendisiplinkan masyarakat untuk terbiasa pola hidup sehat. Bagi masyarakat, tetap harus waspada dan taat menerapkan protokol kesehatan. “Perubahan sosial ini akan terus berjalan hingga ditemukan vaksin,” ujar Dekan Fisip Unsoed ini.
Dia mengatakan, Covid-19 datang tidak diduga dan masih akan terus berlangsung. Ini berbeda dengan kondisi bencana pada umumnya, seperti bencana alam. Terjadi sekali, langsung bisa dirancang penanganannya.
“Karena datang tiba-tiba, terkesan dari awal kita tidak siap, sehingga terjadi semacam shock culture, karena belum tahu kapan berakhirnya. Ini berbeda dengan bencana seperti gempa, unung meletus, tsunami, begitu peristiwanya selesai, kita kan langsung bergerak. Kalau Covid-19, bergerak tapi dihantui rasa ketakutan (ketakutan) semua yang berperan karena merasa terancam,” katanya menggambarkan.
Selain soal ancaman karena ada rasa kepanikan, problem sosial yang lain, kata Jarot, di masyarakat terjadinya pertentangan sosial, seperti 4f4k pengucilan, takut berinteraksi dan saling mencurigai.
Fenomena ini, lanjut ia, juga diperparah , terkesan ada pihak-pihak tertentu ikut membuat situasi menjadi keruh, baik lewat penyebaran informasi yang tidak produktif (positif).
“Kalau ini dianggap adanya konspirasi, bagi saya juga tidak sampai ke sana, karena ini terjadi di seluruh dunia. Ini berbeda jika hanya di Indonesia, mungkin bisa diarahkan seperti itu. Tapi ini dunia,” tandasnya.
Secara psikologi, katanya, dampak yang paling terpukul dari pandemi ini adalah kelas menengah ke bawah, karena diikuti muncul problem sosial baru, seperti terjadi PHK, penurunan pendapatan, meningkatkan pengangguran dan angka kriminalitas. Dampak ekonomi, memang yang paling terpukul adalah kelas menengah ke atas, terutama pelaku usaha, pebisnis dan pemain modal.
“Kalau belakangan masyarakat terkesan abai (tidak takut lagi-red), ini karena faktor kejenuhan. Semula taat dan patuh karena kemampuan ketahanan diri terhadap himpitan ekonomi dan sosial masih ada, sekarang sudah menurun, bahkan minus. Istilahnya ada perlawanan terhadap keadaan diri, di sisi lain manusia kan harus tetap survival (bertahan). Negara tidak bisa hadir menjawab itu semua,” nilainya.
Menurutnya, peran pemerintah memang sudah berjalan, terutama penanganan kesehatan. Penangan dampak ekonomi. Namun belum maksimal, karena dari awal kejadian ini mendadak dan tidak diantisipasi jauh sebelumnya.
“Kalau bencana yang lain, asal ada anggaran, negara hadir, penanganan bencananya selesai. Covid-19, tidak cukup diselesaikan dari aspek penyiapan anggaran besar saja, tapi penanganan aspek sosial sangat penting, karena menyangkut aspek sosiologi dan antropologi,” kata doktor lulusan UGM ini.
Menggerakkan Ekonomi
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Pemkab Banyumas, Purwadi Santosa mengatakan, penanganan Covid-19 yang dilakukan pemkab, sudah on the track. Yakni terus menjaga penerapan protokol kesehatan secara ketat.
Sejak awal, kata dia, juga membagi masker ke masyarakat setiap hari, bahkan sampai ke desa-desa dan kelurahan. Operasi masker, tindak lanjut dari adanya perda penanggulangan dan pencegahan penyakit menular, terus dilakukan.
“Ini berbeda dengan daerah lain, kelihatan longgar. Setiap saya keluar kota, belum pernah menemui adanya operasi masker, bahkan masyarakatnya terkesan abai sudah tidak pakai masker,” katanya mencontohkan.
Menurutnya, ini dilakukan dalam upaya menekan jumlah pasien yang positif sampai dibawah 1 persen, kendati tingkat kesembuhan lebih besar. Dia melihat, dari kondisi ini ada yang terlupakan yakni untuk kembali menggerakkan ekonomi. Di antaranya, membuka seluruh akses ruang publik supaya ekonomi berjalan lancar. Karena ini inimenyumbang 50 persen untuk penguatan ekonomi, selebihnya dengan program dan insentif.
Menurut dia, pada kuartal dua, meski pertumbuhan ekonomi Banyumas masih positif, namun secara nasional sudah minus 5,3 persen. Jika pada kuartal tiga masih negatif, analisa para ahli bisa memicu resesi.
“Untuk mengantisipasi ini pemerintah, termasuk Kabupaten Banyumas, meluncurkan program percepatan pemulihan ekonomi dengan program-program yang tepat untuk pengungkit baik berupa kegiatan dan pelatihan.” terangnya. (G22-1)