PURWOKERTO – Menunaikan rukun Islam kelima, pergi haji ke Tanah Suci, merupakan dambaan bagi setiap umat muslim. Tak terkecuali umat muslim dari Indonesia dan lebih khusus wong Banyumas yang beragama Islam.
Banyaknya umat Islam yang ingin menunaikan haji tersebut membuat daftar tunggu semakin panjang. Kini untuk bisa berangkat haji, harus sabar menanti hingga lebih dari 20 tahun.
Beruntung, penulis pada musim haji tahun 2019 bisa memenuhi panggilan pergi ke Baitullah. Itu setelah menanti sembilan tahun dari saat mendaftar tahun 2001 lalu.
Keberangkatan haji tahun 2019 merupakan yang kedua kali. Keberangkatan haji kedua adalah dalam rangka membadalkan haji orang tua yang sudah almarhum/almarhumah.
Haji pertama untuk sendiri terlaksana tahun 2010. Saat usia masih 45 tahun. Sedangkan untuk tahun 2019, berangkat saat usia suad 54 tahun. Apa yang membedakan keberangkatan haji tahun 2010 dengan 2019?
Tahun 2010 ketika usai masih 45 tahun, penulis merasa begitu lincah bisa melaksanakan rangkaian kegiatan ibadah haji. Faktor cuaca memang turut berpengaruh terhadap kelancaran ibadah.
Tetapi yang tidak bisa dipungkiri, faktur usia juga ikut menentukan kelancaran ibadah. Di saat belum mencapai setengah abad, kondisi fisik masih prima semua rangkaian ibadah bisa dilaksanakan dengan mudah.
Tawaf mengelilingi Kakbah, ketika itu tidak terasa melelahkan. Bahkan ketika berdesak-desakan untuk mendekati hajar aswad, berdoa di multazam hingga masuk ke hijjir Ismail, bisa dilalui dengan lancar. Demikian juga saat melaksanakan wukuf di padang Arafah, mabid di muzdalifah bermalam di Mina, hingga lempar jumrah bisa dilaksanakan tanpa ada keluhan lelah.
Diluar melaksanakan rukun dan wajib, dalam melakanakan ibadah sunah pun, ketika itu terasa ringan. Setiap hari bisa ikut jamaah di Masjidil Haram, meski tidak semua waktu.
Bisa melaksanakan tawaf sunah minimal sekali sehari. Tak hanya di pelataran Kakbah saja. Tawaf sunah di lantai dua hingga paling atas Masjidil Haram yang beratapkan langit pun dicoba tanpa ada keluhan. Semua dilakukan tanpa merasa lelah.
Itu adalah gambaran ketika penulis bersama istri menunaikan ibadah haji tahun 2010. Kondisi tersebut berbeda manakala penulis bersama istri menunaikan ibadah haji membadalkan orang tua di tahun 2019 ini.
“Dulu tahun 2010 rasanya semua kegiatan ibadah bisa dilaksanakan dengan enteng. Sekarang saat usia sudah kepala lima, sudah beda. Tawaf di lantai dua rasanya tidak segesit dulu lagi,” ungkap sang istri yang merasakan perbedaan haji tahun 2010 dan 2019.
Faktor “U” (usia) sangat berpengaruh terhadap kebugaran. Berangkat haji ketika usia masih muda akan lebih mudah dalam menunaikan rangkaian ibadah haji. Ini bukan berarti jamaah dengan usia tua tidak dapat menunaikan ibadah secara sempurna.
Tidak sedikit jamaah dengan usia lansia yang cukup gesit. Yang ingin penulis katakan adalah bahwa untuk kelancaran ibadah haji faktor kesehatan dan kebugaran fisik sangat dibutuhkan.
Kenapa ibadah haji dibutuhkan kesehatan dan kebugaran fisik yang prima? Tidak lain karena sebagian besar pelaksanaan ibadah haji itu banyak dengan berjalan kaki. Mau tidak mau dibutuhkan kekuatan fisik yang prima dalam menjalani setiap tahapan haji.
Perjalanan ke Tanah Suci tak hanya menguras fisik tapi juga mental. Haji merupakan ritual yang tidak ringan karena mengeluarkan tenaga yang besar dalam setiap tahapan.
Sebut saja tawaf (mengelilingi Kakbah 7 kali) dilanjutkan dengan sa’i (berjalan dari Bukit Safa ke Marwah juga tujuh kali, semua dilakukan dengan berjalan kaki. Kecuali yang karena uzur, bisa didorong dengan kursi roda. Atau sekarang bisa naik skuter dengan membayar 100 real per kepala.
Kemudian saat puncak haji, wukuf di Padang Arafah hingga mobilisasi ke muzdalifah hingga Mina, kebugaran fisik sangat dibutuhkan. Untuk menuju jamarat (tempat lempar jumrah ula, wustho dan aqabah), jamaah haji Indonesia juga kembali harus berjalan kaki. Jaraknya pun tidak lagi pendek. Pengalaman haji tahun 2019, untuk pergi pulang dari tenda di Mina ke jamarat, jaraknya sekitar 7 km.
Usai melaksanakan puncak ibadah Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina) dan kembali ke hotel tempat menginap, jamaah pun masih berlomba mengejar ibadah sunah. Bagi yang masih di Mekkah, salah satu yang rutin dilakukan adalah jamaah shalat di Masjidi Haram.
Sedangkan untuk yang sudah berada di Madinah, jamaah mengejar arba’in (shalat berjamaan 40 waktu tanpa putus) di Masjid Nabawi. Baik yang di Mekah maupun Madinah, untuk menuju ke masjid ditempuh dengan jalan kaki. Di Mekah memang ada bus shalawat yang siap antar jemput dari hotel ke Masjidil Haram, full 24 jam.
Tapi tidak sedikit yang memilih berjalan kaki ke masjid karena kalau naik bus lebih lama sebab harus memutar dulu. Mau tidak mau, melaksanakan ibadah sunah untuk menggapai kesempurnaan haji pun memerlukan kekuatan fisik.
Apa yang digambarkan di atas bagi penulis ingin menyampaikan pesan bahwa ibadah haji adalah ibadah yang membutuhkan fisik prima. Meski ibadah haji sekaligus merupakan ibadah batiniah, tetapi dalam pelaksanaannya memerlukan fisik prima.
Apalagi situasi dan kondisi di tanah air dengan di Arab Saudi, berbeda jauh. Cuaca panas yang cukup ekstrim ditambah rangkaian ibadah haji yang menguras energi, membuat jamaah beresiko terkana masalah kesehatan ketika berada di Tanah Suci.
Boleh dibilang, ibadah haji tidak bisa dipisahkan dengan kesehatan sebab ibadah haji adalah ibadah fisik. Jamaah haji yang sehat dan bugar akan lebih mudah menjalankan rukun dan wajib haji.
Kondisi tersebut bisa diperoleh setiap jamaah haji apabila telah menjaga kesehatannya jauh hari sebelum keberangkatan ke tanah suci. Ibadah haji itu akan menguras fisik. Artinya cukup berat.
Jadi fisik yang harus dijaga. Tidak salah apabila Kementerian Kesehatan selalu mengimbau agar sebelum berangkat, jamaah dalam keadaan prima. Bahkan kini, Kementerian Kesehatan, melalui Puskesmas sudah melakukan tes kebugaran bagi calon jamaah haji sat tahun sebelum berangkat.
Kebugaran dilakukan lebih awal agar kesehatan calon jamaah haji benar-benar terpantau hingga saat berangkat calon jamaah benar-benar bugar dan sehat secara fisik.
Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek bahkan menghendaki persiapan ini sebisa mungkin dilakukan jauh hari sebelumnya. Menkes berharap agar pemeriksaan kesehatan terhadap jamaah haji dapat dilaksanakan 10 tahun sebelum keberangkatan.
Menkes saat memberikan materi Kebijakan Penyelenggaraan Kesehatan Haji di hadapan peserta Pembekalan Terintegrasi Petugas Haji Arab Saudi 2019 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Jumat (26/4) menyampaikan sebaiknya setiap orang yang berniat naik haji seharusnya kesehatannya dijaga.
“Jangan 1 tahun sebelumnya. Mungkin kalau mau daftar 10 tahun lagi, maka harus dijaga 10 tahun sebelumnya. Bayangkan 10 tahun sebelumnya kita (jamaah) selalu cek kesehatan sebaik-baiknya. Saya kira ini baik sekali demi kesehatan masyarakat,”katanya. (Sigit Oediarto-20)