BANYUMAS-Penyerapan pupuk urea bersubsidi ke petani di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk di eks Karisidenan Banyumas belum berjalan maksimal.
Hingga semester pertama (enam bulan) tahun 2021 ini, khusus di eks Karisidenan Banyumas baru terserap 72 persen dari kuota sekitar 210 ton (empat kabupaten).
Direktur Utama PT Pusri Palembang, selaku produsen untuk pupuk bersubsidi, Tri Wahyudi Saleh mengatakan, penyerapan belum maksimal ini menunjukkan bahwa terjadi sesuatu di lapangan. Sehingga pihaknya bersama komisaris turun langsung ke berbagai
wilayah, termasuk Jawa Tengah, untuk mendengarkan secara langsung permasalahan
yang dihadapi distributor maupun pengecer.
“Di wilayah eks Karisidenan Banyumas kami melihat serapannya baru sekitar 72 persen.
Artinya ini pasti ada sesuatu, makanya kita melakukan evaluasi dan turun langsung ke
lapangan, termasuk mengetahui sejauh mana penyerapan dan kendala-kendalanya,”
katanya usai menggelar juguran dengan kalangan distributor di wilayah eks Karisidenan Banyumas, di RM Joglo Banteran Sumbang, Jumat (4/6) sore.
Hasil masukan dari distributor, hal itu terjajdi, kata dia, karena terkendala non teknis di luar kewenangan pihaknya sebagai produsen. Seperti RDKK yang tidak sesuai.
Kemudian alokasi yang besar melebihi kebutuhannya.
“Artinya, ini ada daerah-daerah yang kelebihan alokasi dan jauh daripada kebutuhannya, seperti di Banjarnegara. Sementara di kabupaten lain, kebutuhan besar tapi alokasinya tidak ada,” ungkapnya.
Hasil penyerapan dari lapangan itu, lanjut dia, bakal disampaikan ke dinas terkait di
daerah setempat, kemudian ke gubernur untuk direalokasi lagi. Hal ini perlu, katanya,
daripada alokasi subsidi tidak termanfaatkan dengan bai pada musim tanam kedua nanti.
“Kami dari direktur utama dan komisaris mendengarkan kondisi dari lapangan, terus kami catat untuk disampaikan kepada regualator,” tandasnya.
Tri Wahyudi mengatakan, sebenarnya ketersediaan pupuk bersubsidi sangat cukup,
namun belum tersalurkan 100 persen. Hal ini juga banyak diakui kalangan distributor.
Dalam forum gendhu-gendhu rasa itu, pihaknya juga menanyakan langsung pendapat dari
kalangan distributor terkait isu rencana pencabutan pupuk urea bersubsidi ini. Hasil
permintaaan pendapat distributor di wilayah eks Karisidenan Banyumas berjumlah 25
distributor, mayoritas menyatakan setuju atau tidak keberatan.
“Alasannya, mungkin mereka sebagai distributor mengaku ribet sekali untuk membuat laporan pertanggungjawabannya. Haru membuat laporan ini dan itu, tapi ini harus
dilakukan karena menggunakan uang negara,” terangnya.
Meskipun di lapangan penyerapan belum maksimal. Tri Wahyudi tetap menyatakan,
perusahaannya tetap mensuport pemerintah untuk menyalurkan pupuk bersubsidi ini.
Menurutnya, dari alokasi yang sudah ditetapkan, tidak ada peningkatan, karena rata-rata setiap tahun hampir 9 juta ton.
“Kebutuhan pupuk petani di seluruh Indonesia itu sekitar 24 juta ton. Alokasi anggaran
yang tersedia untuk pupuk bersubsidi hanya sekitar 9 juta ton. Jadi pasti aga
kesenjangan di situ. Tapi persoalannya kenapa ini hanya 8 juta ton, kok penyerapannya juga tidak maksimal,” tandasnya.
Sumarsono, distributor asal Banjarnegara mengungkapkan, penyerapan di wilayahnya
baru mencapai 13 persen. Ini terjadi karena tahun ini alokasi tahun 2021 ini ditambah
menjadi sekitar 31.600 ton. Tiga tahun terakhir alokasinya antara 17 ribu-18 ribu ton per tahunnya.
Dia membandingkan, Kabupaten Cilacap dengan luasan wilayah 312.280 hektare dengan
luasan sawah 63,318 ha, alokasi pupuknya 33 ribu ton, sehingga wajar serapannya
mencapai 30 persen. Namun untuk Banjarnegara dengan luas wilayah 106.971 hektare,
dengan luasan sawah hanya 14,049 hektare dengan alokasi 31 ribu ton.
“Jatah alokasi ini tidak sesuai dengan lahan yang ada. Dan ini terlalu besar bagi
Banjarnegara, Kami mengusulkan ada realokasi atau pengurangan,” katanya
mencontohkan. (aw-)