Ikrom Rifa’i merupakan salah satu penyair muda bertalenta dan menjanjikan dari Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Berikut puisi-puisi Ikrom Rifa’i yang menjadi pembuka rubrik puisi edisi pertama di suarabanyumas.com.
KELAHIRAN KEDUA
: Embun Maharani
Berlayarlah engkau menyusuri kewingitan rahim ibu
meski sampan yang kau rakit itu berasal dari rintihan rasa sakit.
Berlayarlah, sebab deras arus ketuban akan membawamu
pada muara kefanaan: tempatmu berikhtiar dengan kehidupan.
Dengarlah dengan saksama ritmis tangis yang kau ramu
dengan kesucian. Bakal nyawa yang ditiupkan semasa
di kandungan adalah panji yang kau bawa dari asali,
sesekali kau gunakan untuk memaknai hakikat surgawi.
Kini, telah kupasrahkan segala semoga pada
lampin dan jarit yang melilit di sekujur kulit tubuhmu.
Lihatlah, tak ada perapian yang mampu menghangatkan
selain dengan rapal doa yang mesti terus dipanjatkan.
Kelak, tak ada yang bisa kuwariskan selain laku becik
dan welas asih; kutulis pada lembar batinmu yang putih.
Purbalingga, 2021
SEMACAM ODE UNTUK BIYUNG
: Warijem
Aku ingin merundingkan ini, Biyung:
bagaimana bisa kesedihan memonopoli air mata
sedang kau sendiri lupa bahwa kebahagiaan adalah
mata pelajaran yang sama sekali tak ada modulnya.
Kita bisa saja membuat mosi tidak percaya,
melayangkan gugatan pada yang maha kuasa
tapi siapa pula yang mau memihak:
nasib bukanlah sipir penjara yang bisa kita suap seenaknya.
Seperti premis khotbah seorang ulama,
“nasib hanya bisa disuap dengan usaha dan doa!”
Atau mungkin begini saja, Biyung:
bisakah kita menemukan cara yang lebih elegan
untuk mengarsipkan segala duka dan kesedihan
yang kaususun dari slip gaji pensiunan
juga dari bunyi token listrik di depan rumah
atau dari perut tempayan yang merindukan beras.
Misalnya pada secarik kertas berisi sajak.
Kau bisa menaruh kesedihan di sana
tanpa perlu bersengketa: siapa yang
paling bertanggung jawab atas nasib kita?
Purbalingga, 2021
(Baca Juga: Katasapa Luncurkan Buku Puisi Epitaf Tanah Perwira)
Puisi-Puisi Ikrom Rifa’i
PADA SEBUAH AKAD DI AHAD PAGI
: Umi Mujiroh & Pramono
Pada sebuah akad di Ahad pagi, kita sepakati saja
: merawat usia mesti sepaket dengan bungah dan nelangsanya.
Dalam ijab, tak banyak klausul yang engkau minta.
Hanya seperangkat puisi: rumah paling ramah untuk kita tempati.
Kita akan tua-renta di sini, katamu. Beranak dan menimang cucu;
memilah uban dan mencabutnya bagai benalu: sebab maut memulai
siasatnya dari situ. Menualah kita meski hidup penuh riuh pisuh; meski
daftar utang tak kunjung rampung; rakaat masih banyak yang limbung.
Kelak, ketika ranjang rumah menjadi sewingit punden bersemah;
doa-doa berlaga dengan khusyuk di lorong telinga; telah kita buat
sebuah wasiat—semacam manuskrip catatan perjalanan yang panjang
: hidup bermula dari tangis dan bermuara pula menuju tangis.
Maka pada sebuah akad di Ahad pagi, kita sepakati saja
: merawat masa mesti sepaket dengan ajur dan mujurnya.
Purbalingga, 2020
RIWAYAT TEGALAN KULON
Kalau mangsa kasa telah tiba dan
seluruh ladang ditanduri palawija,
cangkul bekerja pada tegalan kering
dan pupuk begitu pepak dipersiapkan
untuk semusim, akankah hama akan
menanggalkan daun dan ranting?
Bibit yang tersemai sempurna mungkin
telah lupa: bukan pada pestisida
nasib baik petani itu akan bekerja.
Dan kau tahu, Le? Di sepanjang terasering ini
bukan panen yang menjadi puncak seremoni
tersebab harga yang dipatok tengkulak
tak pelak membuat kami serupa budak
Tapi kau juga tahu, Le? Tak ada klausul
yang mampu membenarkan nasib kami.
Dan barangkali hanya ketabahan:
satu-satunya buah yang bisa kita panen saat ini.
Purbalingga, 2021
Puisi-Puisi Ikrom Rifa’i
DI PASAR UNGGAS SINGKIR
Apakah rezeki akan mangkir dari tempat sekotor ini?
Saban Kliwon pagi, ketika nasib baik para pedagang
tergambar pada bau busuk kotoran ayam.
Lalat-lalat yang berkerumun dalam lamunan
mungkin juga paham, cerutu di jari para pedagang
hanya akan mengepulkan kecemasan:
omset yang meleset tajam
laba yang kian berkurang
atau cicilan bank di akhir bulan yang urung dilunaskan.
Apakah rezeki masih sudi singgah di tempat sekotor ini?
Saban keluruk jago dibunyikan, dengus entok jantan bersahutan
juga kicau burung yang menanggalkan kesyahduan.
Juru bea keamanan yang tak lagi gigih menagih setoran
dan bunyi sempritan tukang parkir di depan trotoar
hanya bisa pasrah mengilhami ketiadaan.
Apakah rezeki masih punya nyali untuk datang ke tempat sekotor ini?
Kalau pada tiap bilik lapak telah pepak dipenuhi pamflet-pamflet
dan pendapatan pedagang terkungkung di balik seruan dan himbauan:
Ah, barangkali rezeki juga taat pada protokol kesehatan.
Tapi, apakah rezeki akan tetap menyambangi tempat sekotor ini?
Ketika di lapak-lapak ini
tak ada lagi transaksi
tak ada yang bisa disepakati
selain dengan getir nasibnya sendiri.
Wonosobo, 2021
ARDILAWET
Beratus-ratus ritus telah tercetus di punden itu.
Semah-semah para kamitua, juga rapal doa
yang tersemai pada kembang tujuh rupa;
menemu ia yang Maha segala.
Tapi di punden itu;
bau sejarah senantiasa hangatkan ricik arus
darah, seperti perapian di nganga jenggala
yang dipenuhi segala kemah.
Sebab kita tahu:
pokok sejarah tak kan cukup
kita jamah hanya lewat ziarah.
Purbalingga, 2019
Ikrom Rifa’i lahir di Purbalingga, 25 Juli 2000. Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang. Bergiat di Komunitas Teater dan Sastra Perwira (KATASAPA) Purbalingga dan Rintis Teater PBSI-UNSIKA.
Mulai Oktober 2021, suarabanyumas.com memunculkan rubrik baru berupa puisi yang terbit setiap malam Minggu. Redaksi menerima kiriman karya-karya penulis dengan ketentuan 5-6 buah puisi karya terbaru. Diketik dalam bentuk Words dengan format Times New Roman font 12 spasi 1,5. Sertakan biodata singkat, nomor gawai dan nomor rekening. Kirimkan di lampiran ke email estetikaworkart@gmail.com dengan subjek Puisi_Nama Pengirim_Kota (Puisi_Rumi_Banjarnegara). Ada honor apresiasi untuk penulis yang puisinya dimuat.