Usai memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman (FISIP Unsoed) Purwokerto, Ulil Abshar Abdalla, cendikiawan Nahdlatul Ulama (NU) ke Riverside Caffe di Karanglewas, Sabtu (11/10) siang. Di sinilah ia kembali berbagi ilmu termasuk soal etik politik dari Imam Al Ghazali.
Tokoh muda yang sebelumnya menjadi kontroversial karena bergiat dalam gerakan Jaringan Islam Liberal ini membahas pemikiran ulama besar Islam Ghazali. Dalam kitab Ihya Ulumudin itu, Gus Ulil begitu ia akrab disapa menjelaskan Ghazali terpaksa menerima dengan legawa dengan terbelahnya politik nabi ulama dengan politik raja sultan.
“Kalau diibaratkan bandul, yang kiri itu politik nabi dan ulama yang berisi tentang nilai, iniklusivisme, keadilan, toleransi dan universal lainnya. Sementara bandul yang kanan berisi politik raja dan sultan yang berisi berbagai hal duniawi, kekuasaan dan sebagainya,” jelas menantu KH Ahmad Musthofa Bisri.
Dilanjutkan Ulil, politik ideal yaitu bersatunya politik kenabian ulama dan politik raja sultan ini terjadi saat nabi dan ‘khulafaurrosyidin’ ada. Saat itu kepala negara otomatis menjadi pemegang otoritas keagamaan. Pasca itu, kedua politik ini terbelah sebagaimana terjadi di dinasti abasiyah, umayah dan sampai sekarang.
“Jadi di sini adalah siyasah muluk dan salatin bukan kholifah. Jika yang dominan politik raja sultan saja, maka yang terjadi adalah korupsi (penyimpangan, red). Makanya idealnya raja itu dikendalikan ulama,” ujarnya.
Kedua politik itu adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan, harus berjalan bersama. Politik kenabian yang hanya mengandalkan nilai di saat situasi yang tepat seringkali terbukti hanya berumur pendek dan mengalami kegagalan.
“Sebagaimana dikatakan GusDur, politik kebangsaan harus dikedepankan.
Ekspresimen politik nilai saja tak tepat situasi gagal maka banyak menemui kegagalan. Keduanya harus berjalan, di sini ‘value’, ajaran Quran yang universal sebagaimana termaktub dalam ‘Maqosidus Syariah’ harus dilaksanakan,” kata mantan Ketua Lakpesdam PBNU ini.
Budayawan Ahmad Tohari yang turut hadir mengatakan pendekatan kebudayaan untuk mendorong penghayatan agama yang ramah dan rahmat bagi seluruh alam perlu terus dilaksakanan. Pendekatan kebudayaan sebagaimana diwariskan para ulama terdahulu harus dilaksanakan.
“Beragama itu harus dihayati. Jangan sampai kehilangan ruh agama. Beragama harus menjadi pilihan sadar sehingga mewujud dalam tindakan nyata bukan hanya dalil saja,” katanya.
Sebagaimana dalam tradisi tasawuf kata Kang Tohari, beragama atau berislam itu harus berdasar pada pilihan bebas individu yang bebas dan sadar. Menjalankan syariat agama harus menjadi sebuah kebutuhan akan diri sendir, bukan tanpa paksaan atau pamrih kepada yang lain.
“Suatu hari Emha Ainun Nadjib, datang ke kantor saya di Jakarta. Saya menunjukkan kepadanya musala, malah ia mengatakan kalau ditunjukkan saya malah mendhing tak salat. Begitulah menjalankan agama harus sadar dari sendiri, bukan karena orang lain,” ujarnya.(Susanto-)