SUATU hari Sulistiana (33) warga Desa Karanglewas Kidul, Kecamatan Karanglewas terkejut ketika mendapatkan pesan Whatsapp tentang pemberitahuan tagihan pinjaman online (pinjol) atas nama kawannya yang ada dalam satu grup whatsapp tertentu.
Ternyata beberapa hari kemudian diketahui, bukan hanya ia seorang yang mendapatkan pesan itu. Kawan-kawannya yang masih satu grup ini juga mendapatkan pemberitahuan yang sama.
“Yang pinjam online satu orang, tetapi pemberitahuan tentang tagihannya tersebar ke kawan seluruh grup whatsapp. Kalau sekali dua kali mungkin wajar, tetapi berkali-kali. Ini kan bisa menganggu,” jelasnya.
Repotnya meski merasa terganggu, namun Sulis bersama dengan kawan-kawannya yang turut terdampak pinjaman online ini tak bisa menghentikannya. Yang bisa dilaksanakan paling hanya memblokir nomor penagih pinjaman online tersebut. Akibat hal inilah, jejaring pertemanan mereka menjadi terganggu.
“Ya, memang ini sangat disayangkan. Karena yang meminjam siapa, yang merasakan dampaknya kawannya. Apalagi parahnya data pribadi peminjam juga dalam kondisi terancam,” ujarnya.
Dampak ‘pinjol’ ini memang sudah banyak dirasakan banyak pihak. Mekanisme mudah pengajuan kredit lewat media sosial, membuat keresahan tentang dampak pinjol merebak hingga wilayah pedesaan. Untuk mendapatkan kredit ‘pinjol’ ini, orang hanya perlu mengirimkan foto KTP atau identitas lainnya.
“Yang parah lagi adalah kasus ada kawan yang menggunakan identitas kawannya untuk mengajukan kredit ini. Maka yang turut terkena dampaknya adalah kawan-kawannya lagi. Apalagi kalau belum lunas dan tersendat pasti akan terus ditagih dan pemberitahuannya akan disebar lewat media sosial kawan-kawannya,” kata Rahmawati (34) warga Desa Kranggan, Kecamatan Pekuncen.
Terkait hal inilah, warga berharap pemerintah khususnya kementerian terkait bersama OJK untuk terus menindak tegas berbagai praktik jasa keuangan yang ilegal dan merugikan masyarakat.
Apalagi melalui jasa fintech berbasis digital ini, berbagai privasi warga semakin terancam. “Kami berharap ada penanganan, pemantauan dan penindakan terus menerus terkait hal ini. Karena ini cukup meresahkan sebagaimana rentenir di dunia nyata. Apalagi melalui media sosial, daya jangkau fintech ilegal ini terbilang tak kenal batas,” ujar Darbe Tyas, warga Sokaraja yang juga pegiat media.
2-3 Keluhan Pinjol
Keresahan masyarakat tentang adanya pinjol ‘abal-abal’ ini telah tercium pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kantor OJK Purwokerto sendiri juga mendapatkan keluhan dari masyarakat terkait dampak dari operasional jasa ‘fintech lending’ yang diduga ilegal ini.
Sedikitnya OJK Purwokerto rutin mendapatkan keluhan 2-3 orang tiap minggu. “Mereka umumnya merasa terganggu dengan adanya pemberitahuan tentang tagihan kredit temannya yang memanfaatkan jasa pinjol. Memang untuk bisa mengakses pinjol ini cukup mudah, namun dampaknya kawan-kawan yang turut punya jejaring media sosial juga turut terdampak terkena pemberitahuan tagihan dan sebagainya,” ungkap Suwariyanti, karyawan OJK Purwokerto.
Perlu diketahui masyarakat, hingga 2019 ini OJK telah menutup ratusan jasa ‘fintech lending ilegal’ yang tak sesuai dengan regulasi OJK. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika juga telah menutup sekitar 1467 seribu aplikasi dan website jasa ‘fintech lending ilegal’ yang meresahkan masyarakat.
“Terkait hal inilah, masyarakat perlu mengetahui benar-benar kredibilitas dan legalitas fintech yang akan dimanfaatkan jasanya. Pinjol online biasanya ada basis aplikasi dan websitenya. Kalau ada pinjol yang meminta data KTP lewat WA atau SMS maka jangan mau,” kata Sumarlan, Kepala OJK Purwokerto saat Gathering Media di Dieng Banjarnegara, Jumat (15/11) petang.
Dengan makin berkembangnya fintech saat inilah, OJK mendorong masyarakat agar terus terdidik. Literasi keuangan yang mengarah pada inklusi keuangan akan terus didorong dengan berbagai cara, media dan ke siapapun.
Kerja sama dan sinergitas OJK Purwokerto, pemerintah daerah khususnya melalui Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) di wilayah eks Karesidenan Banyumas terus dilaksanakan.
“Karena yang paling efektif adalah ketika masyarakat tersosialisasi dan teredukasi literasi keuangan maka kasus semacam pinjol ini bisa diminimalisasi. Peran pemerintah dan media juga sangat diperlukan untuk mengefektifkan hal ini,” jelas Sumarlan.
Terkait hal inilah OJK terus mendorong masyarakat untuk bisa mengakses layanan finansial di berbagai lembaga yang legal dan kredibel. Hal ini penting agar masyarakat benar-benar produktif dalam memanfaatkan akses keuangan. Dengan inilah diharapkan pembangunan ekonomi dan pemerdayaan melalui peningkatan akses keuangan bisa dilaksanakan.
“Sebagai contohnya adalah dengan sosialisasi yang massif dan semakin terbukanya informasi tentang akses keuangan yang sehat, maka praktik rentenir di pasar-pasar tradisional di Banyumas telah berkurang. Seperti di Pasar Karanglewas yang tadinya mencapai 20 praktik rentenir kini hanya tersisa 6 orang saja,” katanya. (Susanto-20)