PURWOKERTO – Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Kabupaten Banyumas mendesak agar agen (e-warung) nakal dalam penyaluran komoditas telur untuk bantuan sosial terdampak Covid-19 dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) reguler ditertibkan.
Pasalnya dalam penyaluran dua bulan terakhir masih dijumpai adanya indikasi pengoplosan jenis telur infertil (non komsumsi) dengan telur konsumsi. Padahal sesuai ketentuan, bansos sembako, di antaranya komoditas telur harus memakai standar konsumsi masyarakat.
“Ini terjadi karena sebagian agen masih ada yang melakukan pembelian langsung ke pedagang luar yang tidak masuk dalam paguyuban atau perhimpunan peternak unggas Banyumas. Sehingga mereka tidak terkontrol. Ini yang harus ditertibkan,” kata Humas Pinsar Kabupaten Banyumas, Nur Fauzi, Kamis (21/5).
Menurutnya, telur yang dipasok dari peternak lokal Banyumas yang tergabung di Pinsar sama sekali tidak ada yang memasukkan jenis telur infertil. Telur tersebut murni hasil dari perunggasan peternakan di Banyumas.
Untuk program tersebut, jelas dia, perhimpunan baru bisa memasok sekitar 60 persen dari jumlah kebutuhan yang harus disalurkan ke keluarga penerima manfaat (KPM).
Berdasarkan pengalaman distribusi Mei ini, jelas Fauzi, penerima BPNT reguler riil sekitar 119 ribu KPM. Sedangkan yang terdampak Covid-19 riil tersalurkan sekitar 87 ribu KPM. Setiap KPM menerima jatah 1 kg dengan biaya tebus Rp 24.000.
“Agen yang dipasok dari perhimpunan mengambil keuntungan Rp 3.000 sendiri. Kemudian untuk penyalur, termasuk TKSK sekitar Rp 1.800. Untuk kas perhimpunan Rp 200 per kilogram. Namun dalam praktiknya masih banyak agen yang langsung bertranskasi dengan pedagang dari luar,” jelasnya.
Fauzi menjelaskan, posisi agen dalam program BPNT sambako sebenarnya hanya sebagai penyalur tidak boleh melakukan transaksi sendiri dengan menentukan keuntungan secara sepihak.
“Pengambilan telur ke perhimpunan tidak sama dengan jumlah KPM yang dibawahi agen. Misalnya KPM-nya 200, mengambil ke perhimpunan hanya separonya, selebihnya membeli langsung ke pedagang supaya dapat keuntungan besar. Padahal aturannya mereka hanya menerima jasa sebagai penyalur ke KPM, bukan sebagai pedagang murni,” tandasnya.
Dalam Evaluasi
Masalah itu, lanjut dia, dalam evaluasi sudah disampaikan ke Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinsospermades) maupun Dinas Perikanan dan Peternakan. Pihak dinas, katanya, bakal menertibkan, mengingatkan program tersebut juga bertujuan untuk menghidupkan potensi ekonomi lokal (peternak).
Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Pemkab Banyumas, Wisnu Hermawanto mengatakan, Banyumas termasuk surplus produski telur. Prouksi telur dari peternak lokal, termasuk yang masuk dalam jaringan plasma sekitar 32 ton.
Dari jumlah itu, yang untuk pasar umum terserap antara 10-11 ton. Selebihnya dikirim keluar yang sudah terikat kontrak kerja sama.
“Sebenarnya kita surplus karena Banyumas merupakan sentral produksi. Jadi kalau untuk memenuhi kebutuhan bansos BPNT reguler dan terdampak Covid-19 sangat mencukupi, tidak harus diambilkan dari luar. Ini beda dengan daging sapi, karena produksinya terbatas,” katanya terpisah.
Pihaknya menduga, munculnya telur infertil baik yang beredar di pasaran maupun yang kemungkinan dioplos untuk bansos, karena ada pasar luar yang masuk.
“teknis terkait penyaluran bansos ada di dinsos untuk pengawasannya seperti apa, kami tidak terlibat langsung,” ujarnya.
Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial Penanganan Fakir Miskin Dinsospermades, Lili Mudjianto mengatakan, pihaknya menjamin telur yang disalurkan untuk bansos sembako BPNT reguler dan terdampak Covid-19, bukan jenis telur infertil.
“Tapi ini (telur-red) hasil produksi peternakan lokal yang untuk komsumsi. Kita juga ingatkan ke agen-agen (e-warung) jangan sampai mau menerima telur yang bukan untuk komsumsi. Saat didistribusikan dari pemasok, juga kita minta dicek lagi,” katanya.
Kelompok pengawas bansos sembako BPNT reguler dan terdampak Covid-19, Sumbadi mengatakan, dalam ketentuan terkait penyaluran program ini, ada klausul yang menyebut, bahwa dalam pendistribusian ada pengawasan dari pemerintah dan masyarakat. Sehingga tidak murni dilepas dalam hukum pasar bebas, karena pembayarannya memakai anggaran negara.
“Posisi agen (e-warung) dalam aturan itu hanya sebagai penerima jasa untuk perantara penyaluran ke KPM, bukan sebagai pedagang murni. Tidak bisa seenaknya mengambil keuntungan besar. Dampaknya nanti kualitas sembako yang diterima KPM bisa menurun,” tanda dia. (G22-1)
Diskusi tentang artikel