PURWOKERTO – Pemerintah desa (pemdes) diharapkan bisa turun tangan ikut membantu mendukung penanganan pendidikan inklusi anak berkebubutuhan khusus (ABK).
Mengingat jumlah ABK di Banyumas kini terus meningkat, sedangkan penanganan melalui jalur resmi pemerintah selama ini tidak bisa maksimal, baik dari sisi kebijakan dan anggaran.
Pembina Yayasan Jamur Dwipa, Purwadi Santosa mengatakan, sejak 2015 lalu, yayasannya tergerak untuk ikut menangani pendidikan inklusi para ABK, di luar yang ditangani pemerintah dan SLB.
Namun peran ini belum bisa maksimal karena menghadapi berbagai keterbatasan. Mulai sumber daya, tenaga sukarelawan (pengajar dan mentor), hingga pendanaan untuk operasional di lapangan.
“Makanya kita mengharapkan, ada peran yang bisa dijalankan oleh desa, untuk membantu menfasilitasi untuk mendukung penanganan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Desa sekarang punya ketercukupan anggaran, sehingga sebagian bisa dialokasikan,” kata Purwadi, yang juga kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda), Senin (4/11).
Dia menyebut, anak-anak usia sekolah (6-12 tahun) dari kelompok ABK di Banyumas, jumlahnya lebih dari 1.000 anak sendiri, dengan gambaran di satu RT ada satu ABK. Namun sekolah yang bisa menampung, yakni SLB, jumlahnya sangat terbatas.
Sementara jika harus masuk digabung di sekolah formal, lanjut dia, harus membutuhkan sumber daya lebih, mulai tenaga pendidik, sarana dan prasarana pendukung hingga penyesuaian kurikulum (standar nilai).
“Melalui yayasan ini, kami bergerak bersama slebih dari 200 sukarelawan atau sekitar 30 relawan inti terus bergerak, berusaha untuk membuat pos-pos inklusi untuk ABK di desa-desa tertentu atau minimal di satu kecamatan. Namun ini baru berjalan di beberapa desa dan kecamatan saja,” ujarnya.
Kecamatan yang pernah ada pos pendidikan inklusi ABK, kata dia, seperti di Kecamatan Gumelar, Ajibarang, Pekuncen, Cilongok dan Sumbang. Termasuk rencana di Somagede. Namun, yang sudah berjalan ini, diakui, terkendala pembiayaan untuk operasional tim pengajar atau mentor.
“Di desa atau di kecamatan yang sudah ada pos inklusi ABK ini, pertemuannya tiga kali seminggu. Kalau ini dari desa bisa mendukung, mulai menyiapkan fasilitas tempat dan pendanaan, mereka (ABK), bisa terus dibantu pendidikannya,” katanya.
Idealnya, kata dia, pendidikan untuk ABK bisa bersama dengan pendidikan formal, supaya mereka bisa teransang ada peningkatan pendidikannya. Di sisi lain, katanya, penanganan pemerintah terkait pendidikan, terkait dengan umur. Misalnya, umur sekian masuk PAUD, terus masuk TK dan seterusnya. Sedangkan untuk ABK, tidak bisa diterapkan pola seperti itu semua.
“Karena ini ada wilayah yang kosong (mengutusi pendidikan ABK), makanya desa bisa berperan serta melalui dana desa. Desa kan pemerintahan terendah, jika ada wilayah kosong kan mestinya bisa masuk, toh masalah penanaganan pendidikan untuk ABK kan tinggal sedikit,” katanya menggambarkan.
Mereka yang bisa masuk sekolah formal, nilai dia, maka tanggung jawab desa bisa lepas. Namun untuk yang tidak bisa masuk sekolah, peran desa sangat dibutuhkan. Sehingga kolaborasi yang dilakukan pihaknya, fokus untuk menguatkan SDM (tenaga pengajar atau mentor).
“Desa menyiapkan tempat atau pos pelayanan untuk kumpul, membiayai operasional dan bila perlu untuk honor tenaga pengajarnya,” tandasnya. (G22-60)