BANYUMAS – Globalisasi mendorong dan mempengaruhi berbagai konteks kehidupan sosial warga dunia. Ironisnya, bahasapun turut serta terpengaruh. Akibatnya identitas suatu bangsa yang terbentuk dari bahasapun rawan luntur bahkan hilang.
“Saat ini telah marak penggunaan bahasa asing di tempat umum. Saya khawatir nama tempat yang menjadi kekayaan budaya lokal kita terpengaruh budaya asing. Saya khawatir masyarakat dengan mudah mengganti nama tempat lokal dengan bahasa asing,” kata Prof Dr Cece Sobarna, guru besar linguistik Universitas Padjadjaran, Bandung saat presentasi tentang hasil riset Toponimi (Nama Tempat) Berbahasa Sunda di Balai Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir pekan lalu.
Gejala penggunaan bahasa asing untuk nama tempat itu, kata Prof Cece, sudah jamak terlihat di wilayah perkotaan. Penggunaan kata ‘park, square‘ sebagai pengganti kosakata taman. Padahal jika hal itu terus berlangsung, maka bisa melunturkan identitas dan jati diri bangsa.
Tak heran jika, punahnya bahasa ini bisa menjadi bencana kemanusiaan. Namun kebanyakan masyarakat dan berbagai pihak tak menyadari hal tersebut. Padahal ketika masyarakat kehilangan bahasa maka bangsa bisa hilang identitas dan budayanya.
“Makanya sebagaimana Bahasa Sunda, jangan persepsikan kalau Bahasa Banyumasan itu ‘ndeso‘ tetapi kita harus punya sikap visioner ke depan. Menguatkan identitas, budaya dengan menguatkan bahasa,” ujarnya.
Peran Pemangku Kepentingan
Dari riset toponimi tempat berbahasa Sunda di Brebes, Banyumas, dan Cilacap termasuk di Desa Dermaji 2017-2019, Cece mendapatkan data penggunaan Bahasa Sunda di wilayah tersebut telah punah. Punahnya penggunaan Bahasa Sunda tersebut terjadi karena hilangnya penutur.
“Dulu di sini banyak digunakan Bahasa Sunda untuk komunikasi ataupun nama tempat, tapi sekarang penuturnya tinggal 1-2 orang. Untuk itulah kepedulian dari pemerintah dan pemangku kepentingan harus peduli dengan hal tersebut,” katanya.
Untuk mempertahankan kembali bahasa ibu inilah, dapat diajarkan kembali di sekolah. Untuk pemerataan harus ada payung hukum seperti peraturan daerah untuk menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal bagi siswa. Peran pemangku kepentingan juga harus dilaksanakan untuk mendorong generasi muda tidak malu menggunakan bahasa ibu.
“Saya sudah mengirim surat ke Gubernur Jawa Tengah supaya Bahasa Sunda bisa diakui dan diajarkan di Jawa Tengah. Jadi di Jawa Tengah ada tiga bahasa yaitu Sunda Jawa dan Banyumasan,” katanya.
Dengan sinergi peran para pemangku kepentingan inilah, pertukaran guru dan buku dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Jika butuh buku dan guru bahasa Sunda, maka bisa diambil dari Jawa Barat dan sebaliknya.
“Saya menyambut baik karena di Dermaji sudah ada museum sebagai pengawet kebudayaan karena kekurangan kita adalah dokumentasi. Jangan sampai budaya kita dibawa bangsa lain. kepemilikan kita adalah identitas kita,” ujarnya.
Diharapkan dengan peran semua pihak, maka pelestarian bahasa bisa dilaksanakan. Dengan menguatkan bahasa maka identitas akan semakin dikuatkan. Usahakan globalkan berbagai hal yang lokal termasuk bahasa dan budaya.
“Orang atau bangsa lain memikirkan yang kecil bangsa lain memikirkan hal ini. Jangan sampai kita ribut karena hal ini telah diambil bangsa lain,” tegasnya.(Susanto-20)