PURWOKERTO – Pendirian sebuah rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta untuk bisa mendapatkan izin operasional harus memenuhi ketentuan yang disyaratakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomer 3 Tahun 2020.
Salah satu ketentuannya menyebutkan, untuk rencana blok bangunan (pendirian) harus berada dalam satu area (kawasan) yang terintegrasi dan saling terhubung. Jika ada rumah sakit yang memiliki lokasi bangunan terpisah dengan nama yang sama, maka ini berpotensi melanggar peraturan yang berlaku.
Hal itu terungkap dalam seminar secara online (webinar) yang digelar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unosed Purwokerto, beberapa waktu lalu.
Webinar mengambil tema izin operasional rumah sakit dan implikasi dari perspektif hukum kesehatan. Tema ini diangkat karena prodi S2 ini memiliki salah satu konsentrasi, yakni hukum kesehatan.
Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Unsoed, Dr Budiyono SH MH mengatakan, nara sumber yang dihadirkan, meliputi Dr Nasser SpKKD dosen pascasarjana, Prof Dr Abdul Kadir (Kemenkes), Dr Muh Ibnu Fajar Rahim SH MH (jaksa fungsional Kejagung), Prof Harry Azhar MA PhD CSFA (anggota BPK RI) dan Dr Tomo Rustiano MM (Dirut PT Karisma Medika Utama).
Menurut Budiyono, nara sumber menyampaikan, salah satu norma penting terkait pengaturan perizinan operasional rumah sakit, yakni di Pasal 21 dan 23 Permenkes Nomor 3 Tahun 2020, perubahan dari Permenkes Tahun 2014.
Dalam ketentuan itu disebutkan, setiap rumah sakit memiliki izin setelah memenuhi persyaratan. Mengacu Pasal 21, katanya, persyaratan ini meliputi lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian dan peralatan.
Sedangkan Pasal 23 Ayat 1 disebutkan, bangunan dan prasarana tersebut harus memenuhi prinsip keselamatan, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan kemudahan. Sementara pada ayat 2, kata dia, bahwa rencana blok bangunan rumah sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung.
Baca Juga : Ada Perbaikan Sistem, Operasional Trans Banyumas Dihentikan Sementara
”Studi kasus yang muncul dan dibahas dari berbagai pespektif oleh nara sumber, yakni terkait perpanjangan izin Rumah Sakit Margono Soekardjo (RSMS) Purwokerto milik provinsi, yang sudah habis. Izin operasional dari Maret 2016-Maret 2021 kemarin,” terangnya, Selasa (4/1/2022).
Selain izin perpanjangan, lanjut dia, juga terungkap, selama ini RSMS memiliki dua lokasi yang berbeda dengan nama sama. Satu lokasi di Jl dokter Gumbreg-Soepradjo Rustam (rumah sakit utama) dan satu lagi di Jl dokter Angka Purwokerto untuk Pavilun Abiyasa Pusat Geriatri.
”Untuk Pavilun Geriatri izin operasionalnya gemblok (menyatu) dengan RS Margono yang di berada di Jl Soepardjo Rustam-Jl dr Gumberg. Ini tidak pas dengan ketentuan Pasal 23 Ayat 2 Permenkes No 3 Tahun 2020. Karena lokasi terpisah tidak dalam satu area (kawasan),” uangkapnya.
Sesuai Permenkes
Nara sumber Prof Harry Azhar, katanya menyampaikan, perizinan harus sesuai dengan peraturan menteri kesehatan. Jika tidak sesuai, maka izin operasional rumah sakit tersebut bisa dipertanyakan keabsahan hukumnya.
”Kalau tidak sesuai ketentuan Permenkes, harusnya pemberi izin tidak boleh memaksakan mengeluarkan izin. Ini menyangkut berbagai konsekuensi, seperti penganggaran, status izin praktik para medis dan jasa medis, pengurusan klaim BPJS maupun penanganan pasien yang bersifat darurat,” katanya.
Jika pemberi izin tetap memaksakan mengeluarkan izin, nilai dia, maka bisa dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum. Karena RS Margono adalah milik Pemrov Jateng, katanya, pemberi izin adalah gubernur yang didelegasikan melalui kepala DPMPTSP.
”Harusnya kalau sesuai dengan Permenkes No 3/2020 itu, DPMPTSP provinsi tidak mengizinkan izin operasional RS Margono dengan dua lokasi yang berbeda,” ujar dia.
Di webinar yang diikuti sekitar 400 peserta secara online ini, kata dia juga terungkap, penelitian dalam penilaian izin operasional rumah sakit, pengendalian (filter) dari awal bisa dilakukan oleh asessor rumah sakit saat melakukan visitasi (pengecekan) ke lapangan.
”Untuk studi kasus RSMS, kalau izinnya sekarang sedang diperpanjang, mestinya gubernur kalau tahu, bisa menghentikan dulu. Rumah sakt milik pemerintah tetap harus taat dengan peraturan menteri terkait. Bisa saja, keduanya diurus dengan izin operasional berbeda,” sarannya.(aw-)