PURWOKERTO – Keberadaan jamu gendong saat ini sudah cukup sulit di temui terutama di lingkungan perkotaan.
Hal ini di dukung juga dengan maraknya produsen jamu instan yang di nilai menjadi solusi lebih praktis untuk tetap menikmati kasiat dari jamu.
Kendati demikian ciri khas dan keberadaan dari jamu gendong belum memudar.
Salah satu penjual jamu gendong di Purwokerto yaitu Nur Yati. Ia tetap mempertahankan ketradisionalan berdagang jamu gendong.
Nur Yati sehari-hari berjualan jamu dengan berjalan kaki mengelilingi pusat kota Purwoketo.
Baca Juga : Disiplin Protokol Kesehatan, Pengendara Dapat Jamu
Dia mengawali harinya membuat jamu sejak pukul 04.00 dan mulai berdagang pukul 08.00 hingga sore hari.
Dalam berjualan jamu, ia tetep mempertahankan ciri khas dengan memakai baju kebaya, jarik dan tentunya menggendong jamunya dengan kain yang di lilitkan pada pundaknya.
Mengawali Berjualan
Nur Yati mengawali berjualan jamu gendong sejak 1981. Kala itu, harga jamu masih Rp 400 dan menggunakan media batok sebagai tempat meminum jamu.
Seiring berjalannya waktu, harga jual jamu kini Rp 2.500 per gelas dan Rp 10.000 per botol.
Rata-rata per hari Nur Yati mendapatkan pendapatan Rp 80 ribu dari berjualan jamu.
Dia menuturkan jamu kunir asam masih jadi primadona bagi penikmat jamu.
Nur Yati mendapatkan kepiawaian dalam meracik jamu secara turun temurun. Ia juga mewariskan cara meracik jamu pada kedua anaknya. Sehingga, kedua anaknya sekarang memproduksi jamu seperti dirinya.
”Saya jualan jamu turun temurun. Belajar pertama dari Bulik (bibi) yang keluarganya memang berjualan jamu semua,” ujarnya.
Baca Juga : Sosialisasi Protokol Kesehatan Sambil Bagikan Jamu
Selain itu, keberadaan pandemi Covid-19 ternyata meningkatkan omzet pendapatannya. Pasalnya banyak keluarga yang menjadi langganan memesan jamu.
”Pas Covid kemarin itu, yang pesen banyak satu keluarga ada yang pesen sampai 10 botol,” ujarnya.
Namun sejak penurunan Covid-19, sudah tidak ada lagi yang memesan jamu gendong dalam bentuk botolan padanya.(mg02-7)